Benarkah Islam Era Sekarang Dianggap Merosot?

waktu baca 4 menit
Selasa, 8 Nov 2022 11:49 0 13 Ansor Mesir

 

Islam telah eksis selama 14 abad. Terhitung sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi, dengan membawa risalah Tuhan; guna menyempurnakan agama samawi sebelumnya. Agama yang dikenal dengan penuh kasih-sayang, khususnya bagi penganutnya, dan secara umum bagi semua makhluk, juga agama yang dikenal penuh tolerasni serta tidak ada paksaan untuk memeluknya.

Belasan abad sudah terlewati, tentu banyak hal yang bisa dijadikan pedoman dan pelajaran bagi generasi selanjutnya, utamanya bagi para umat yang hidup di era modern ini, entah dari sisi apapun itu; dengan cita “membumikan kebaikan untuk kehidupan selanjutnya”. Degan cita ini, tentunya Islam tak akan serta-merta merumuskan regulasi tertentu, lalu mendeklarasikannya, tanpa memandang relevansi regulasi tersebut dengan kemaslahatan masyarakat, atau tidak menimbang terlebih dahulu, lantas sebuah kebijakan yang dihasilkan pun bertolakbelakang dengan kesejahteraan masyarakat, tentu sangat ironis!.

Peluncuran regulasi yang telah melewati beberapa pertimbangan, tentunya mempunyai manfaat besar, dengannya, Islam akan terhindar dari stigma “tertinggal”, karena tergerus oleh kemajuan zaman; ia juga tak bisa dikatakan “jumud”, karena hanya terpaku dalam hal agama saja. Dengan dalih dituduh terbelakang, Islam pun hadir dengan gagasan yang menyeluruh, ekonomi, politik, sosial, hukum, sejarah bahkan teknologi sekalipun, berhasil diikuti dengan baik; dengan polesan inovatif yang tentu selaras dengan perkembangannya. Dengan regulasi serupa, agama Islam juga hadir  dalam segala permasalahan yang muncul dan menghantui tatanan sosial; menyodorkan sebuah solusi yang moderat, mampu mengatasi segala problem yang terjadi, dan berusaha memberikan kemudahan bagi umat, tanpa memberatkan ataupun mempersulit usaha mereka.

Sebagian pemikir dan tokoh agama menjustifikasi bahwa, umat Islam di zaman sekarang merosot; mengalami kemunduran dan terkesan jadula, dengan artian, Islam sulit bergaul dengan tantangan zaman dan kondisi suatu tempat. Sehingga muncul kelompok (dari kalangan mereka) yang menyiarkan islamophobia (anti terhadap islam). Tentu itu bukan sembarang banyolan!.

Justifikasi itu tidak lahir begitu saja, tentu ada penyebabnya. Adapun sebab yang paling mendasar adalah kurangnya antusiasme kader-kader Islam terhadap sains, lalu merasa puas dengan apa yang dimiliki, walaupun itu secuil biji sawi. Tidak bisa diragukan lagi, bahwa umat Islam masih banyak yang merasa dirinya cukup dengan pengetahuan yang dimiliki. Jika hal itu tidak segera disadari dan dievalusai, kemungkinan besar  yang akan terjadi hanyalah keterpurukan. Tentunya, kelengahan ini dimanfaatkan orang barat untuk terus berpikir demi memajukan wacana dan merubah tatanan dunia, dengan ciri khas mereka.

Masalah di atas seakan tak menemukan jalannya keluarnya, karena mendapat sumbangan masalah keegoisan. Masalah itu muncul dari segelintir pribadi yang engan membuka hati selebar mungkin; untuk merangkul orang sekitar yang notabene masih awam terhadap ajaran agama. Benar sekali jika ada ungkapan yang mengatakan, “kerusakan terbesar disebabkan oleh orang bodoh yang pandai agama, namun dia tidak mau mengamalkan (menyalurkannya kepada orang lain) ilmunya. Tapi ada yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang yang bodoh yang hanya bisa beribadah tanpa ilmu.”  Dengan adanya masalah ini, tentunya Islam akan terpuruk, bagaimana tidak, ajaran Islam (khususnya ketauhidan) adalah hal primordial; harus diajarkan–dan dipelajari–terlebih dahulu, sebelum membahas disiplin ilmu lain, justru tidak disosialisasikan; lantas bagaimana umat ini bisa menikmati hidangan ilmu lainnya.

Ada pula sebab lain, yaitu munculnya kelompok-kelompok ekstrimis. Mereka adalah oknum agama yang gagal memahami ajaran agama. Mereka menyangka, Islam bisa dipahami secara kontekstual. Penampakan gagal paham yang mencolok adalah ketika mereka ‘tidur’ ketika bab jihad tengah dijelaskan. Akhirnya, mereka hanya menangkap sebagian saja, dan mengibas bongkahan pelajaran (penting) lainnya. Darah pun mereka beri label halal untuk dialirkan, meski muaranya adalah tubuh umat Islam. Tentu hal ini tidak bisa dianggap sepele, karena kerap kali mereka melaksanakan kegiatan itu dengan mengatasnamakan Islam. Maka wajar, jika non-muslim menggembor-gemborkan  islamophobia. Padahal, Islam yang sejati tidak seperti itu, ia mengajarkan kedamaian dan ketentraman antar-umat beragama, lebih-lebih sesama umat; karena sejatinya, mereka semua adalah saudara, entah saudara seiman, setanah air, atau saudara karena sesama manusia.

Lantas apa tugas kita? Ya, benar, salah satu tugas kita adalah mendewasakan umat dan mengedukasi bahwa, Islam yang benar adalah rahmatan lil ‘alamin; menyarat kasih-sayang, dan memberi rasa aman-nyaman demi ketentraman bersama. Jika hal ini tercapai, maka bukan hanya umat muslim saja yang merasakan hidup sejuk, penuh kedamaian, umat lain pun akan terpapar dampak positif, sehingga mereka tertarik dengan ajaran islam yang sesungguhnya, dan stigma yang muncul dibenak orang barat mampu dikikis oleh adanya rasa kasih sayang dan rasa saling peduli antar umat manusia.

Intinya, umat ini tentu bertanggungjawab untuk berpikir cemerlang, guna memberikan perubahan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan membuktikan bahwa Islam adalah agama yang maju. Kemudian kita juga harus memberi manfaat kepada kaum sekitar, tanpa mengusik stabilitas masyarakat. Semoga Tuhan berikut rahmat-Nya selalu berpihak pada kita. Amin!

Oleh: Izza Ulinnuha

Editor: Syafil Umam

Ansor Mesir

Admin Website Ansor Mesir

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA