Ansormesir.org–Seorang teman lama, teman waktu sanawiyah—sekarang, mungkin sedang mengambil program doktoralnya di bidang filsafat—bertanya kepada saya, “Mengapa umat Islam terbelakang dalam hal teknologi?” Pertanyaan itu terlontar sekitar dua tahun yang lalu. Saya pun belum mampu menjawabnya saat itu.
Selang beberapa waktu setelah ia bertanya, KH. Musthafa Bisri (Gus Mus) membahas masalah ini. Beliau hanya mengatakan, “Kita (muslimin) memang berbeda arah dengan Barat dalam hal ini (teknologi)”. Ketika itu, saya tidak dapat memahami apa yang dimaksud oleh Gus Mus. Menurut saya, jawaban tersebut terlalu simpel dan terasa kurang mengena. Hingga pada akhirnya, ketidakpahaman saya sedikit terjawab ketika membaca karya Prof. Dr. Ali Gomaa. Dalam bukunya Ath-Tharîq ilâ at-Turâst al-Islâmi, beliau memaparkan seputar paradigma Islam. Entah mengapa, kemudian pikiran saya teringat dengan pertanyaan di atas. Pertanyaan yang sebenarnya telah tertimbun oleh banyak hal.
Menurut Prof. Ali—yang juga kerap diutarakan oleh beberapa ulama, terdapat dua tujuan di balik penciptaan manusia. Pertama, untuk beribadah kepada Allah, seperti yang telah dijelaskan dalam Adz-Dzariyat ayat 56. Kedua adalah untuk memakmurkan dunia, hal ini tersirat dalam Al-Baqarah ayat 30. Oleh karena dua tujuan ini, Allah menurunkan syariat Islam. Syariat yang berperan dalam mengatur laku mukalaf. Terutama dalam hal yang sering bersinggungan langsung dengan seorang mukalaf, yaitu terkait perintah dan larangan baginya. Dua hal ini erat kaitannya dengan wahyu dan realitas; yang mana keduanya merupakan sumber paradigma Islam. Hal ini bisa digambarkan dengan bagaimana wahyu dapat memerintahkan mukalaf atas realitas yang terjadi, dan begitu juga ketika munculnya sebuah larangan.
Dalam lingkup perintah dan larangan, syariat hanya menuntut pada realitas yang bisa ditangkap oleh indra (wâqi’). Syariat tidak menuntut lebih dari itu. Yakni, syariat tidak menuntut mukalaf untuk melakukan hal-hal yang terjadi di luar indra (nafs al-amr), seperti perintah untuk meneliti tentang kandungan air, sekalipun air berkenaan langsung dengan perintah ataupun larangan bagi mukalaf (ed, thahârah). Syariat tidak memerintah untuk meneliti sedalam mungkin, sebagaimana yang dilakukan oleh saintis. Menurut Prof. Ali: Hal tersebut dikarenakan penemuan yang ada bersifat temporal. Bisa saja penemuan yang ada sekarang digugurkan oleh penemuan selanjutnya.
Satu hal yang perlu disepakati, bahwa syariat Islam tidak menafikan penemuan-penemuan empiris para saintis. Terlebih dalam urusan-urusan yang murni duniawi. Hal itu sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi: “Kalian lebih mengetahui terhadap urusan-urusan dunia kalian.”
Penjelasan Prof. Ali cukup senada dengan apa yang diutarakan oleh Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi. Dalam bukunya Min al-Fikr wa al-Qalb, beliau menggarisbawahi tentang tugas dan kewajiban seorang muslim. Tugas inilah yang akhirnya menciptakan arah yang berbeda dengan Barat. Menurutnya, kemajuan bidang teknologi memiliki peluang yang sama bagi seorang muslim maupun non-muslim (Barat). Kita tidak bisa memungkiri bahwa Barat lebih maju dalam teknologi pada saat ini. Namun, tidak dimungkiri pula muslim dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Barat.
Saintis Barat terus-menerus melakukan penelitian terhadap hal-hal yang sangat mendetail, baik itu hal yang sangat kecil maupun sebaliknya. Namun, mereka tidak melihat ke belakang mengenai tugas sebagai seorang hamba. Mereka tidak pernah mempertanyakan, “Setelah penemuan sejauh ini, lantas kita ini siapa? Apa tugas kita di hadapan ciptaan yang sedemikian maha dahsyat?”
Beda halnya dengan muslim. Setelah menemukan kenyataan yang dahsyat, ia akan kembali mengingat siapa dirinya. Ia akan kembali mempertanyakan tugasnya sebagai manusia. Sangat keliru ketika seorang muslim beranggapan bahwa dirinya diciptakan tanpa sebuah tugas, terlebih setelah dapat mengetahui tugas-tugas ciptaan Tuhan yang lain dari hasil penelitiannya. Mana mungkin manusia dengan segala keistimewaannya yang melebihi semua mahluk yang ada di alam, diciptakan tanpa tugas. Bahkan yang seharusnya terjadi malah sebaliknya. Hal ini dikarenakan keistimewaan yang dimiliki sebanding dengan tanggung jawab yang diterima.
Atas dasar uraian di atas, pada akhirnya seorang muslim akan kembali pada pertanyaan “Apa tugas ciptaan terhadap Penciptanya?” Tugas ini tidak lain adalah memposisikan diri sebagaimana yang diinginkan oleh Penciptanya. Yaitu dapat menjalani kehidupan sesuai dengan jalan yang telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan Sunah. Oleh karenanya, seorang muslim tidak merasa mempunyai tuntutan untuk melakukan penelitian hingga menghabiskan jutaan dolar, sedangkan di sisi lain masih banyak umat manusia yang tengah dalam keadaan krisis dan lebih membutuhkan bantuan materi, seperti halnya orang-orang yang berada dalam krisis kelaparan.
Akhir kata, menurut saya, pemaparan di atas menjadi penjelasan atas apa yang telah disampaikan oleh Gus Mus. Kita memang mempunyai arah yang berbeda dalam laku kehidupan dengan orang Barat. Orientasi kita bersumber pada wahyu dan realitas. Dimana realitas yang diperintahkan hanya sampai batas tertentu. Sedangkan apa yang dilakukan oleh mereka, tidak memiliki dampak pada perkara yang menjadi tujuan kita. Di samping itu, kita mempertanyakan hal yang tidak ditanyakan oleh mereka. Hingga pada akhirnya, kita akan tetap kembali pada tugas utama kita sebagai manusia, sekaligus sebagai seorang hamba.
Penulis: Akhmad Khazim
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar, Kairo
Tidak ada komentar