Sebuah Seni di Dalam Dunia Tethering-menethering

waktu baca 5 menit
Kamis, 31 Mar 2022 18:25 0 19 Ansor Mesir

Ansormesir.org—Hari ini, kita hidup di era revolusi industri 4.0, di mana suatu teknologi lazim dijumpai di setiap lini kehidupan, lebih-lebih dengan yang namanya internet. Internet senidiri, memiliki peran yang amat kompleks di era yang serba canggih ini, mulai dari ranah pendidikan, pekerjaan, perdagangan, pergaulan dan lain-lain. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, internet merupakan kebutuhan primer bagi manusia modern. Berbicara mengenai internet, tentu tidak akan terlepas dengan istilah paket data. Paket data inilah yang menjadi salah satu  perantara bagi kita, untuk dapat terhubung ke dalam jaringan internet. Bisa dibilang, antara internet dan paket data ibarat dua mata koin yang tak terpisahkan, tidak seperti dirimu dengan si dia, Sob!

Masih dalam pembahasan seputar internet, tentu telinga kita tidak asing dengan kata tethering. Dalam istilah gampangnya, tethering ialah menghubungkan paket data dari smartphone satu ke smartphone lain. Dalam aktivitas ini, ada dua komponen utama yang saling bersinergi. Pertama, si donatur, yaitu orang yang telah rela membagikan paket data atau koneksi internetnya kepada orang lain, dan yang kedua, si penerima donasi paket data, yaitu orang yang mendapat akses internet atas jasa dari sang donatur, atau saya akan menyebutnya dengan istilah sohibul tethering.

Dalam dunia per-tethering-an ini, ada beberapa hal yang menarik untuk disorot, salah satunya ialah kebiasaan si sohibul tethering yang cukup bikin geregetan. Mungkin kita sudah tidak asing lagi –bahkan banyak di antara kita, termasuk saya sendiri sering melakukan hal ini- dengan orang yang meminta tethering, di mana ngakunya hanya untuk buka WhatsApp, namun nyatanya malah surfing ke mana-mana, mulai dari YouTube, Instagram, download anime, maraton drakor, video call gebetan dan lain-lain. Ya pantas, kalau orang-orang seperti ini disebut sebagai orang yang tidak tahu diri.

Perbuatan seperti ini, mengingatkan saya pada peribahasa Jawa yang amat masyhur, diwenehi ati ngerogoh rempela (sudah diberi hati minta ampela). Adagium ini dapat mendeskripsikan sikap sohibul tethering di atas, dimana awalnya ia hanya minta sedikit namun akhirnya malah keterusan, kan tuman. Namun jika kita tinjau lebih lanjut, rasa-rasanya, ungkapan si Raja Campursari asal Jawa Timur, Didi Kempot, yang berbunyi,  wes ditulung malah mentung (sudah ditolong malah mukul) akan lebih relevan disematkan pada si sohibul tethering, yang telah diberi bantuan tapi justru merugikan si pemberi bantuan. Sebuah contoh simbiosis parasitisme, So, jangan ditiru, Gaes!   

Berangkat dari polemik di atas, saya akan mengupas lebih lanjut bagaimana etika dan tata krama meminta tathering agar tidak menjadi masalah bagi si pemberi koneksi. Sebagaimana kita tahu, pada dasarnya tidak semua orang akan merasa nyaman, jika ada sesorang meminta hotspot kepadanya, namun beda lagi, jika yang meminta “tebengan kuota” tersebut adalah orang terdekatnya, seperti keluarga atau teman dekatnya, maka sudah tentu, ia tidak sanggup untuk menolaknya. Apalagi kalo gebetannya yang minta, pasti yang terbesit dalam hati adalah ucapan: “apasih yang enggak buat kamu”.

Dari sana, dapat diambil kesimpulan, bahwa ketika kita ingin minta tethering, hendaknya minta kepada orang yang benar-benar dekat dengan kita, seperti kawan mabar (main bareng, ed.) dan lain-lain. Pada level yang lebih tinggi, kita dapat minta ke keluarga atau teman dekat.

Kemudian, juga amat penting bagi sohibul tethering, untuk memastikan calon donaturnya sedang memiliki kuota lebih atau tidak. Hal ini, selain di antara etika meminta tethering yang baik, dapat berguna untuk basa-basi dan mencairkan suasana.

Selanjutnya, yang merupakan hal terpenting dalam menebeng kuota adalah memastikan terlebih dahulu tujuan dari meminta hotspot, lalu kemudian meminta ijin dengan disertai tujuan penggunaannya. Baik itu untuk balas chat WhatsApp, download video atau yang lainnya. Lalu, setelah urusan tersebut rampung, jangan sampai si sohibul tethering tergoda untuk membuka aplikasi-aplikasi lainnya. Hal ini juga sebagai latihan bagi dirinya, untuk memiliki sikap teguh pada pendirian dan menepati apa yang telah ia katakan. Kalau bilangnya buat buka WhatsApp, ya WhatsApp saja, bukan malah nyasar ke YouTube atau lainnya. Dan terakhir, setelah selesai meminta donasi kuota, shoibul tethering tidak boleh lupa, untuk menyampaikan terima kasih kepada si donatur. Akan lebih mulia lagi, jika ia mendoakan si donatur supaya jasanya dicatat sebagai amal baik di sisi-Nya.

Setelah menguraikan etika sohibul tethering yang baik dan benar, selanjutnya, saya akan memaparkan beberapa trik bagi para orang baik yang tidak keberatan ketika dimintai hotspot oleh para sohibul tethering supaya dapat menghindari orang-orang yang tidak tahu diri saat memakai hotspot.

Jika para donatur tahu, bahwa hotspot yang ia sumbangkan dieksploitasi secara berlebihan oleh para sohibul tethering, maka ia dapat memperlambat kecepatan jaringan internet miliknya di pengaturan, tinggal bilang saja kalau kuota mau habis, makanya internetnya lemot. Selain trik tersebut, bisa juga dengan membuat password dengan kata yang menjengkelkan, seperti “enak nih gratisan”, “sobatmisquen” dan lain-lain. Secara tidak langsung, hal ini dapat menyadarkan para pangguna hotspot, supaya tahu diri dalam menggunakannya. Namun, jika beberapa trik tersebut tidak mempan, maka jalan terakhir adalah mengikhlaskan saja, toh menolong orang lain adalah perbuatan mulia, walaupun yang ditolong tidak tahu diri.

Akhirnya, dari dunia per-tethering-an, kita dapat mengambil beberapa pelajaran berharga, seperti memegang teguh ucapan, menjaga tata krama, belajar kesopanan, saling membantu dan hal-hal bermanfaat lainnya.


Kemudian, juga amat penting bagi sohibul tethering, untuk memastikan calon donaturnya sedang memiliki kuota lebih atau tidak. Hal ini, selain di antara etika meminta tethering yang baik, dapat berguna untuk basa-basi dan mencairkan suasana.

Baca juga EssaiOpini dan Sastra dalam rubrik Selasar.

Penulis: Muhammad Alfin Ghozali, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar

Editor: M. Yusron Wafi

Ansor Mesir

Admin Website Ansor Mesir

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA