ansormesir.org-Sebagai umat Islam, secara umum kita mempunyai rutinitas ibadah setiap harinya, dalam hal ini adalah salat lima waktu. Memang menjadi kepentingan tersendiri untuk membicarakannya, mengingat seorang muslim tak hanya dibebani mengurusi perkara ukhrawi, tapi juga bertanggungjawab untuk mengampu urusan duniawinya. Ini juga bagian dari rutinitas
Setiap individu bisa dipastikan punya rutinitas yang berbeda-beda, entah rutinitas yang bersifat statis maupun dinamis. Ada individu yang memiliki rutinitas statis; cenderung tidak bisa diubah, seakan terpasung oleh rutinitas itu. Ada pula individu yang memiliki rutinitas dinamis; mengalir begitu saja. Hal yang kadang luput dari perhatian kita adalah persoalan privasi rutinitas orang lain, kadang kita gagal untuk menghormati rutinitasnya; contoh konkret yang sering kita jumpai adalah ocehan kita terhadap manajemen jam tidur yang digagas orang lain, “kenapa sih loe jam segini tidur? Baru aja jam 12 malam aja udah tewas, lemah loe!
Padahal, jika aktivitas-aktivitas baik itu dirutinkan, maka hal itu berpotensi menjadi sarana ibadah. Tersebab suatu hal yang positif (walaupun berbentuk duniawi) akan bernilai ibadah dengan niat ibadah. Begitu juga sebaliknya, amal akhirat bisa menjadi duniawi jika niatnya tidak tepat. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji disebutkan:
كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الدُّنْيَا وَيَصِيْرُ مِنْ أَعْمَالِ الْآخِرَةِ بِحُسْنِ النِّيَّةِ. وَكَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الْآخِرَةِ ثُمَّ يَصِيْرُ مِنْ أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِّيَّةِ
“Begitu banyak amal yang terlihat sebagai amal duniawi, namun karena dengan niat yang benar, maka amal-amal itu terhitung sebagai amal akhirat. Begitupun sebaliknya, banyak amal yang tampak seperti amal akhirat, tapi karena salah niat, amal-amal itu pun tercatat sebagai amal duniawi.”
Memang, tidur dikategorikan sebagai perbuatan yang mubah. Namun, jika diniatkan untuk menyongsong ibadah lainnya, maka tidur pun bernilai ibadah. Hal tersebut senada dengan kaedah fikih yang masyhur li al-wasail hukmu al-maqashid (perantara itu senada dengan tujuan).
Maka, tidak berlebihan ketika ulama salaf memberi suri teladan untuk menghormati aktivitas orang lain, walaupun tidur. Suatu kisah, ada salah seorang dari mereka yang mengajak berkumpul, lalu ada salah satu di antara mereka tidak bisa ikut, karena bertabrakan dengan jam tidurnya. Ulama lainnya menyikapi hal itu dengan bijak, seraya berkata, “dia sedang wirid; tidur.” Melalui fenomena ini, kita bisa tahu bagaimana mengatur waktu tidur dengan baik.
Bukan hanya tidur, kegiatan yang dianggap remeh lainnya, makan misalnya. Hal ini pernah digoreskan oleh Syekh Nuruddin ‘Ali Jum’ah (Mantan Mufti Mesir) dalam karyanya Al-Mutasyaddidun; Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahammu Qadhayahum. Begitupun ketika kita berposisi sebagai komentator, kita tahu bagaimana cara menyikapi dan menghormati kesibukan orang lain dengan ramah dan baik.
Ya, hal yang ingin disampaikan oleh penulis adalah kemampuan memanajemen waktu dengan tepat, mana waktu untuk pribadi dan mana waktu untuk orang lain; dan juga berupaya menghormati waktu orang lain—berikut kesibukannya, tentunya dengan cara tidak memaksa ikut campur dengan waktu privasi mereka. Loh, kita kan tidak tahu mana waktu privasi dan mana waktu senggang mereka? Dari situlah, ketika kita ingin berkumpul dengan komunitas yang kita ikuti, maka kita hendaknya bijak menentukan waktu; dengan cara urun-rembuk mencari waktu yang bisa disepakati. Kiranya waktu itu tidak bertabrakan dengan waktu privasi masing-masing anggota. Lalu bagaimana cara menyikapi jika hanya ada satu orang saja yang tidak bias bergabung pada waktu yang telah disepakati? Menurut penulis, masing-masing dari kita harus berlapang dada untuk tidak memaksa kesediaan orang itu, dan informasi yang tersaji dalam forum, bisa disampaikan dalam kesempatan lain, entah melalui pesan japri ataupun bertemu secara langsung.
Intinya, kita ketika mengagendakan acara yang melibatkan orang liyan, dan kebetulan pada waktu itu mereka uzur, kita menjustifikasi bahwa mereka pemalas, banyak alasan, dan ini-itu. Sedangkan ketika kita berada dalam situasi yang sama, kita tidak pernah menghukum diri sendiri dengan kecaman serupa. Ya, hormati waktu dan kesibukan orang lain, agar mereka bersedia menoleransi kealpaan kita!
Tertarik dengan artikel di sini ? Baca juga tulisan-tulisan menarik di Mimbar dan Selasar juga ya!
Oleh: M. ‘Abda Rifqi Syukron Al Atqiya
Editor : Syafil Umam
Tidak ada komentar