ansormesir.org-Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar atau membaca pemberitaan tentang agenda-agenda perdamaian yang digagas oleh Grand Imam hingga beliau sering disebut-sebut sebagai imam as salam. Puncaknya adalah Piagam Persaudaraan Kemanusiaan antara Al-Azhar dan Vatikan. Untuk mengetahui detail kunjungan dan konferensi perdamaian yang beliau adakan atau hadiri dapat dilihat jejak digitalnya di internet.
Untuk memahami secara lebih jernih urgensi agenda perdamaian Syekh Ahmad Ath-Thayyib, kita perlu mengetahui lanskap politik Timteng secara umum dan Mesir secara khusus. Beliau menjabat sebagai Grand Imam Al-Azhar sejak tahun 2010. Dari rentan waktu itu hingga sekarang, setidaknya ada dua fenomena penting yang mengubah peta perpolitikan dunia Timur Tengah. Pertama, Arab Spring dan kedua, kemunculan ISIS wa akhwatuha.
Pada tahun 2010, Tunisia berhasil meruntuhkan rezim Ben Ali yang telah menjabat dua puluh tiga tahun. Keberhasilan ini menginspirasi negara-negara Arab lain untuk melakukan hal yang sama. Rakyat melakukan protes untuk menumbangkan dinding kokoh kediktatoran. Mesir, Libya, Suriah dan Yaman bergejolak yang kemudian disebut dengan Arab Spring (ar-rabi al-arabi).
Pada awalnya, Arab Spring dilihat sebagai angin sejuk yang mengisyaratkan adanya kesadaran demokrasi di negara-negara Arab. Namun jika kita lihat sekarang, Arab Spring lebih tepat disebut wabah yang membawa pada perang saudara tak berkesudahan. Ini juga yang ditegaskan oleh Zuhairi Misrawi dalam esainya tentang refleksi Arab Spring. Sejak tertembaknya Muhammad Al-Qadafi, Libya masih terpecah, Suriah menjadi boneka politik yang terjebak dalam perang, dan Yaman, pemerintahan pusat terjepit oleh Houthi hingga Presiden harus melarikan diri ke Arab Saudi. Menteri penerangan Yaman, Ma’mar Al-Iryani, yang bertugas mengabarkan situasi terbaru negara.
Hanya satu negara yang berhasil mengakhiri gejolak wabah Arab Spring dalam waktu singkat, yaitu Mesir. Setelah Hosni Mubarak gagal mengendalikan aksi protes dan Badan Militer Negara berbalik memihak rakyat, Hosni Mubarak mengundurkan diri dan kemudian diadakan pemilu presiden yang dimenangkan Muhammad Mursi dari kalangan Ikhwanul Muslimin. Kemenangan ini dianggap sebagai kemenangan besar karena itu adalah pertama kalinya presiden terpilih dari kalangan sipil bukan militer, dan pemerintah dipimpin oleh kelompok yang selama ini dipinggiran oleh penguasa.
Namun euforia itu tak berlangsung lama. Belum genap setahun berada dalam pemerintahan, terjadi gelombang protes meminta Mursi turun. Ikhwanul Muslimin tak berhasil membuktikan dirinya mampu mengelola sebuah negara yang besar dengan corak masyarakat yang bermacam-macam. Tahun 2013 Mesir kembali bergejolak, namun militer berhasil memegang kendali dan sampai sekarang Mesir adem ayem.
Pertanyaannya, apa yang membuat Mesir berhasil menekan gejolak sebelum ia menjadi fitnah yang melahirkan perang tak berkesudahan seperti yang terjadi di Yaman, Libya dan Suriah? Militer yang kuat? Mungkin salah satunya. Tapi menurut saya, ulama memainkan peranan sentral dalam menyatukan barisan masyarakat. Di Suriah misalnya, Syekh Ramadan Buthi berdiri sendiri. Beliau tak gentar mengingatkan masyarakat bahwa perang melawan pemerintah adalah skenario pihak asing untuk merealisasikan kepentingan politik mereka. Beliau terbunuh dan Suriah tak jelas bagaimana nasibnya sampai sekarang. Sementara di Mesir, kita bisa melihat betapa kuatnya peranan Syekh Ahmad Ath-Thayyib.
Gagasan beliau untuk mendirikan Bait Al-Aila tahun 2011, sebuah wadah yang menyatukan agamawan Islam dan Koptik, berangkat dari kesadaran kebangsaan (al-Muwathanah). Bait Al-Aila yang berarti rumah satu keluarga mengisyaratkan makna bahwa warga muslim maupun koptik adalah keluarga besar yang menempati rumah yang sama, yang patut dijaga bersama-sama. Dalam konsep kebangsaan, setiap individu memiliki hak dan kewajiban terhadap negara. dengan tegas Syekh Ahmad Ath-Thayyib menolak istilah minoritas. Bagi beliau, yang ada adalah al-muwathin, warga negara yang tak ada bedanya di hadapan hukum seperti halnya gigi sisir. Ketika warga sudah solid, oknum asing tak akan berhasil mengadu domba.
Menyatukan barisan rakyat sangatlah penting terlebih di negara konflik seperti negara-negara Timteng. Sedikit celah bisa langsung menyulut fitnah. Dan biasanya celah yang digunakan adalah perbedaan agama dan keyakinan. Agama dijadikan sebagai alat legitimasi untuk membenarkan perang dan pertumpahan darah. Inilah yang tepatnya dilakukan oleh ISIS wa akhawatuha. Di tahun 2014, tiba-tiba ISIS muncul begitu saja mendeklarasikan khilafah di Irak dan Suriah. Sebenarnya, fenomena kemunculan ISIS tidak sepolos keinginan mulia untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi. Ada agenda politik dengan pihak-pihak asing yang terlibat. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan orang rela mengangkat senjata dan membunuh orang lain: kekecewaan politik, keterdesakan ekonomi, dorongan sosial ataupun kekeliruan memahami ajaran agama. Faktor terakhir inilah yang menjadi fokus Grand Imam Syekh Al-Azhar.
Pada tahun 2014, Al-Azhar mengadakan konferensi internasional yang mengundang sejumlah tokoh agamawan baik dari kalangan sunni, syiah, kristen maupun agama lain untuk membicarakan tentang ekstrimisme dan radikalisme. Konferensi itu bertujuan untuk menegaskan bahwa pemahaman-pemahaman yang diusung oleh ISIS wa akhawatuha sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama Islam bahkan agama secara umum
Grand Imam bersama para ulama Al-Azhar lainnya mengangkat beberapa terma yang biasanya salah dipahami atau dibelokkan pengertiannya seperti istilah jihad, hijrah, kafir, khilafah. Terkait jihad misalnya, Grand Imam mengatakan bahwa jihad dilakukan dalam koridor maqashid syariah. Memerangi penyakit yang menggerogoti kesehatan tubuh adalah bentuk jihad, memberantas kebodohan yang menggerogoti akal adalah bentuk jihad, memberantas kemiskinan yang menggerogoti harkat manusia adalah bagian dari jihad. Menegakkan dan merealisasikan ajaran agama tidak dipahami secara sempit dengan berdirinya sebuah khilafah, jihad bukan semata mengangkat senjata untuk memerangi orang lain.
ISIS wa akhawatuha telah menjadikan agama seolah sumber konflik. Inilah yang berusaha diluruskan oleh Grand Imam. Sebaliknya, agama justru sumber perdamaian. Peperangan dan ketegangan yang terjadi bukan karena mengikuti ajaran agama, namun justru lantaran jauh dari agama. Jika seseorang mendekat kepada Islam, ia akan tahu Islam mengajarkan pemeluknya menerima perbedaan karena Allah memang inginnya menjadikan umat manusia itu berbeda-beda. Islam memerintahkan untuk berbuat adil kepada semua orang selain jika orang itu mengobarkan api peperangan terlebih dahulu dengan memerangi kita atau mengusir kita dari rumah kita sendiri. Karenanya ada masa penjajahan, ulama berada di barisan terdepan melawan penjajah yang ingin merebut rumah mereka, negara mereka.
Agama adalah solusi bagi problematika kontemporer. Dalam kasus perubahan iklim misalnya, Al-Azhar dibawah komando Grand Imam, ikut menyuarakan pendapat mereka melalui konferensi di Kazakhstan. Islam mengajarkan tentang kewajiban berbuat ramah terhadap lingkungan. Ketika perang kita tidak boleh menebang pohon sembarangan, atau berbuat kasar terhadap hewan. Seorang perempuan masuk neraka karena tidak memberikan makan kucingnya hingga mati.
Perdamaian dunia adalah gagasan global untuk menghentikan peperangan karena perbedaan pandangan politik, ekonomi, kultur, ketidakadilan dan lain sebagainya. Setiap tahunnya, kita memperingati hari perdamaian dunia. Dan salah satu langkah konkret Grand Imam untuk ikut serta mewujudkan perdamaian dunia adalah menjalin dialog antar umat beragama dan menyatukan barisan mereka. Dalam pidato di acara Kongres Pemimpin Dunia dan Agama di Kazakhstan, Syekh Ahmad Ath-Thayyib mengatakan: as salam bainal syu’ub far’un minassalam bainal adyan. Perdamaian dunia hanya akan menjadi slogan kedodoran jika tidak dimulai dari asasnya: mendamaikan umat beragama.
Slogan kedodoran ini sama seperti seorang yang ingin sekali mendirikan khilafah dengan alasan menegakkan hukum Allah, tapi lupa untuk memperbaiki dirinya dari dalam. Hal ini juga yang dikatakan Syekh Ramadhan Al Buthi bahwa keinginan untuk mewujukan masyarakat islami hanya terdengar sebagai ambisi muluk yang halu jika tidak dimulai dengan memperbaiki fondasi masyarakat itu sendiri: ketaqwaan dan kesucian hati setiap individu.
Pada titik ini, kita dapat melihat dengan jelas, Grand Imam Syekh Ahmad Ath-Thayyib mencoba merealisasikan perdamaian dunia sesuai dengan kapasitas beliau sebagai agamawan.
Oleh: Zulfah Nur Alimah, Lc., MA.
Tertarik dengan tulisan seperti ini? Baca juga rubrik Mimbar dan Selasar ya!
Tidak ada komentar