ansormesir.org-Dinamika mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) tidak pernah membosankan untuk dibahas, Selalu ada hal menarik untuk diulik. Berbagai kejadian lucu, ironi, sampai unexpactable senantiasa mewarnai kehidupan Masisir. Berangkat dari kecanggungan saya saat pertama kali dipanggil ustaz oleh orang asing, saya tertarik untuk membahas tentang asal panggilan ustaz antar Masisir.
Mulai dari penjaga warung, agen pulsa, sampai kang tausil dan bagasi, Semuanya dipanggil ustaz. Tanpa merendahkan profesi tersebut, saya merasa agak aneh dan canggung dengan panggilan itu. Padahal sepengatahuan saya, ustaz itu identik dengan sosok sakral yang menekuni bidang keagamaan. Panggilan terhormat itu hanya diperuntukkan bagi orang tertentu saja. Lantas dari manakah budaya ini muncul?
Meski sudah ditegaskan dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru (ormaba), saya belum merasa puas. Ormaba hanya mendoktrin kita memanggil sesama dengan ustaz, tanpa menjelaskan asal-muasal dan alasannya secara detail. Saya kemudian mengumpulkan beberapa informasi tentang hal ini. Setidaknya, ada empat versi mengenai sejarah awal pemanggilan ustaz antar sesama Masisir.
Pertama, pengaruh budaya lokal. Telinga kita tentu tidak asing dengan teriakan orang Mesir “Ya, Hajj. Ya, Syekh. Ya, Muallim.” Panggilan semacam itu lumrah digunakan oleh sesama orang Mesir, maupun dengan pendatang. Terlebih di lingkungan perkuliahan, karena pada dasarnya mereka menghormati kita sebagai penuntut ilmu dari negeri nan jauh. Tentu berkat interaksi dengan mereka itulah, perlahan-lahan kita mulai meniru budaya panggilan tersebut. Salah satu hasilnya, ya panggilan ustaz tadi.
Secara sederhana, versi pertama tentu sangat masuk akal dan mudah diterima. Tapi ternyata, ada sebagian golongan yang menyangsikan teori ini. Mereka berpendapat Masisir zaman sekarang itu asing dalam budaya asing. Hampir tidak pernah berbaur dengan penduduk lokal, kecuali hanya secuil. Maka, mana mungkin Masisir dapat menyerap budaya dari mereka.
Pendapat di atas kemudian dibantah lagi dengan pernyataan bahwa itu adalah buah interaksi senior-senior kita zaman jebot. Jumlah yang masih sedikit serta penyebaran yang luas menyebabkan intensitas interaksi Masisir dengan penduduk lokal terbilang lebih tinggi. Mereka-lah yang menyerap budaya pemanggilan ustaz itu, kemudian mentransformasikannya kepada kita sampai sekarang.
Kedua, Media sosial. Penggunaan aplikasi chat seperti WhatsApp, tentu membuat kita tidak harus bertemu langsung dengan banyak orang. Secara otomatis, kita tidak bisa pula mengenali personalitas orang tersebut. Apakah dia seorang senior, mahasiswa baru, orang Jawa, Sumatera, dan seterusnya. Maka sebagai bentuk hormat atas siapapun mitra muamalah kita selaku Masisir, munculah konsesus untuk meratakan panggilan semua orang dengan ustaz.
Teori kedua agaknya berkontradiksi dengan yang pertama. Kita tahu maraknya penggunaan WhatsApp itu baru sekitar tahun 2014-an. Sedangkan Masisir, sudah ada ratusan tahun sebelumnya meski masih sedikit. Tapi saya rasa kedua teori di atas masih dapat diharmoniskan dengan memposisikan konsesus tersebut sebagai penguat serapan budaya sebelumnya.
Ketiga, Budaya dari pesantren. Hal terbesar yang menjadi daya tarik Universitas al-Azhar Mesir adalah posisinya sebagai sentral keilmuan Islam dunia. Maka tak ayal mahasiswa Indonesia yang datang ke sana didominasi alumni pondok pesantren. Tujuannya tentu untuk melanjutkan pembelajaran agama di mata airnya langsung.
Pada konteks ini, budaya pesantren juga turut berkontribusi menciptakan kondisi lingkungan di Masisir. Pasalnya, santri yang berangkat ke Mesir kemungkinan sudah menjadi pengurus atau pengajar di pesantren asalnya. Dari sana-lah mereka memanggil dan dipanggil ustaz, kemudian menyebarkan panggilan itu melalui interaksinya dengan Masisir lain. Tanpa menafikan adanya pesantren yang tidak memiliki budaya demikian, menjamurnya panggilan ustaz menunjukkan dominasi mereka di Masisir.
Keempat, perbedaan budaya dari tanah air. Meningkatnya jumlah Masisir tentu berbanding lurus dengan keragaman budaya asalnya. Dalam interaksi sehari-hari, tiap daerah memiliki panggilannya sendiri. Ada abang, mas, cak, ning, mbak, mpok, akang, mang, dan masih banyak lagi. Pelbagai panggilan tersebut lantas bertemu dalam Masisir multikultural.
Pada praktek interaksinya, problematika budaya tak jarang terjadi. Ketika misal seorang Jawa dipanggil ‘bang’ atau orang Sulawesi dipanggil ‘mas’. Muncul perasaan tidak nyaman dalam diri mereka. Akulturasi budaya itu kemudian coba dinetralkan dengan panggilan ustaz. Hal ini kemungkinan dapat diterima banyak orang karena dinilai mewakili kondisi Mesir selaku negara Arab sekaligus tempat belajar agama.
Perbedaan versi mengenai awal pemanggilan ustaz di Masisir ini sebenarnya tidak begitu problematik. Sebagian teori bisa saja saling berhubungan, bahkan meruntut dan menguatkan tanpa menegasikan yang lain. Akan tetapi, pada era sekarang ini saya cenderung memandang panggilan ustaz sebatas barometer kedekatan Masisir. Panggilan itu akan hilang dan tergantikan seiring dengan meningkatnya keakraban di antara mereka. Tentu di luar penggunaanya di beberapa forum resmi atau bawaan budaya tiap orang.
Memang tidak ada referensi tertulis yang valid (sepengetahuan penulis) pada pembahasan ini. Keempat versi di atas, saya rumuskan berdasarkan penuturan verbal beberapa senior saja. Terlepas dari perbedaan pendapat di sana, menurut saya tidak ada salahnya kita memanggil sesama Masisir dengan panggilan lain. Tersebab inti dari komunikasi adalah pemahaman dan kenyamanan kedua belah pihak. Selama dipahami dan tidak menyinggung siapapun, panggilan apapun tidak masalah.
Oleh: Muhammad Al-Fayyadh Maulana
Editor: Yusron Wafi
Baca juga artikel lainnya di rubrik Mimbar dan selasar. Jangan sampai ketinggalan Kabar lainnya!
Tidak ada komentar