ansormesir.org-Tak terasa tahun 2023 sudah memasuki bulan keempat, dan dinamika perpolitikan di Indonesia semakin terasa. Meskipun kontestan politik saat ini belum jelas; dengan artian, hanya beberapa yang benar-benar sudah diusung oleh partainya, yang lain masih ribut di kelas relawan-relawannya, segelintir parpol dan kadernya tetap bergerilya menyampaikan aspirasi. Realitas ini merupakan produk politik identitas yang masih tabu dalam benak beberapa orang. Politik identitas merupakan barang komoditas yang masih nyaman diperbincangkan; sejak tahun 2017 hingga sekarang. Buku bertajuk Politik Identitas Etnis (2002) karya Abdillah mendefinisikan politik identitas sebagai politik yang dasar utama kajiannya bertujuan untuk merangkul dasar persamaan-persamaan tertentu, mulai dari etnis, agama, hingga jenis kelamin.
Beda lagi dengan definisi politik identitas yang ada dalam buku Stanford Encyclopedia of Philosopy (2007) karya Cressida Heyes. Politik identitas diartikan sebagai suatu jenis aktivitas politik yang dikaji secara teoretis; berdasarkan pengalaman-pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dialami oleh golongan tertentu. Dapat disimpulkan, politik identitas merupakan upaya integrasi atas dasar suatu kesamaan untuk meraih tujuan tertentu, misalnya meningkatkan identitas golongan untuk menguasai suatu institusi.
Salah satu hal yang menarik perhatian dari politik identitas adalah kampanye poltik di masjid. Kampanye politik di masjid ini tentunya dirasa lebih praktis dan mudah daripada kampanye dengan menyediakan panggung di tempat tertentu, misal di stadion atau sejenisnya. Belakangan, ada yang berdalih, hal itu hanyalah bentuk silaturahmi atau dialog social antarumat agama, meskipun isinya masih seputar gebyar kampanye, dengan dorongan−bahkan desakan−untuk memilih satu calon tertentu.
- Jusuf Kalla, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia berpendapat, bahwa kampanye di masjid−atau rumah peribadatan lainnya−itu menyalahi etika. Pada dasarnya, tempat-tempat tersebut dibangun untuk ritual peribadatan. Jika kampanye politik dilaksanakan di sana, hal itu akan menimbulkan perpecahan, karena hampir bisa dipastikan, yang datang ke sana memiliki ragam orientasi politik, dan tentunya sulit untuk menciptakan suasana yang kondusif.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat melakukan musyawarah untuk menentukan siapa pengganti Rasulullah SAW untuk memimpin umat Islam. Musyawarah itu bertujuan untuk menentukan dan menetapkan kepala negara. Kendati demikian, mereka melakukan musyawarah di bangsal Bani Sa’idah, bukan di masjid Nabawi. Pemilihan bangsal Bani Sa’idah ini tentunya bukan kebetulan, tetapi memang karena para sahabat tahu, bahwa masalah kekhalifahan seperti ini hendaknya dilakukan di tempat yang memang dipergunakan untuk musyawarah, bukan tempat yang fungsi utamanya untuk ibadah. Apalagi dalam momen Ramadan, yang mana kaum muslimin senang beriktikaf atau mengikuti kajian agama.
Fungsi utama masjid adalah sebagai tempat ibadah kaum muslimin, jangan sampai hanya karena urusan kampanye politik sampai mengesampingkan fungsi utama masjid! Tradisi kaum pesantren ketika menggelar acara pengajian, yang jelas membahas tema-tema keagamaan sekalipun, tidak menggunakan ruang utama masjid sebagai panggung pagelaran acara. Mereka tahu, di situ ada hak seorang muslim untuk beribadah. Di masjid juga ada hak seorang muslim yang ingin beristirahat di sana.
Seyogiyanya, para kontestan politik paham bagaimana cara berpolitik yang sehat. Pada dasarnya, masyarakat akan lebih respek kepada politisi yang bijaksana dengan keadaan, bukan hanya kader yang bisa memanfaatkan keadaan masyarakat. Wallahualam. Tabik!
Jangan lupa baca juga tulisan-tulisan menarik di Rubrik Mimbar dan Selasar ya!
Oleh: M. ‘Abda Rifqi Syukron Al Atqiya
Editor: Syafil Umam
Tidak ada komentar