Ansormesir.org–Akhir-akhir ini, banyak kita jumpai di medsos, konten-konten yang mengangkat keburukan pemerintah dan aparat negara. Dengan berdalih kritik terhadap pemerintah, para pemilik konten itu mencela serta mencaci banyak sekali kinerja pemerintah yang mereka anggap cacat. Terlepas dari apa tujuan para content creator tersebut sebenarnya, mereka pun berhasil menarik atensi masyarakat dunia maya, serta dengan cepat meraih standing ovation dan disambut bak pahlawan oleh warganet.
Melihat hal ini, pemerintah yang merasa bahwa hal ini perlu diatur dalam undang-undang akhirnya merespon perkara tersebut dengan mengesahkan UU ITE. Tak berhenti di sana, DPR –yang merasa bahwa harkat martabat presiden dan wakilnya sebagai pemegang kekuasaan perlu dijaga—pun kemudian menyusun RKUHP yang salah satu poinnya adalah memidanakan orang yang menghina kepala negara. Hal ini pada ujungnya menuai banyak kontroversi di tengah-tengah masyarakat awam dan menimbulkan kekhawatiran bahwa RKUHP akan melahirkan otoritarianisme—karena ada sejumlah pasal yang mengekang masyarakat untuk menyampaikan kritik dan pendapat.
Terlepas dari beberapa kontroversi di atas, bagimanakah seharusnya sikap kita sebagai muslim yang bermanhaj ahlusunah waljamaah dalam menyikapi kesalahan para ululamri di antara kita?
Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa para pemimpin kita hanyalah manusia biasa yang sangat mungkin melakukan kesalahan. Tindakan membenci pemimpin, apalagi sampai merencanakan sebuah pemberontakan, adalah hal yang sangat dilarang dalam Islam, sebagaimana sabda nabi saw,
منْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةٌ جَاهِلِيَّة
“Siapa yang melihat, dari pemimpinnya, sesuatu yang ia benci maka hendaklah ia bersabar. Sebab, sesiapa yang satu jengkal saja meninggalkan jamaah (kaum muslimin di bawah kepimpinanan pemimpin tersebut) lalu ia meninggal, matinya itu mati jahiliah.”
Selain itu, tindakan makar juga dapat menyebabkan perang saudara yang tentu saja itu jauh lebih buruk daripada efek kesalahan pemerintah dalam mengambil sebuah keputusan. Hal ini tidak berarti bahwa Islam melarang umatnya untuk memberikan kritik dan nasihat kepada para pemimpin—bahkan Nabi SAW melarang seseorang diam saja jika ia mengetahui sebuah kemungkaran.
Kritik dan nasihat kepada pemerintah sudah jelas juga merupakan sebuah bentuk dari amar makruf nahi mungkar karena keduanya bertujuan menyadarkan pemegang kekuasaan dari kesalahannya. Oleh sebab itu, nasihat dan kritik kepada pemerintah sudah tentu disyariatkan. Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadis yang berbunyi;
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ،وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Diriwayatkan dari Abi Ruqayyah Tamim ibn Aus ad-Dari–semoga Allah meridainya—bahwa Nabi saw. bersabda, ‘Agama adalah nasihat.’ Kami berkata, ‘milik siapa?’ Nabi bersabda, ‘Milik Allah, kitab-Nya, para rasul-Nya, para pemimpin umat muslim dan umumnya orang muslim.”
Kemudian, agar kritik dapat memberikan dampak yang positif, maka seyogianya yang boleh mengkritik adalah orang yang ahli di bidangnya. Miris sekali, dengan berdalihkan freedom of speech, pada zaman berkembangnya media sosial ini, kritik banyak dilontarkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya, bahkan banyak dari para pengkritik tersebut tidak mengerti hal yang dikritik. Lebih naasnya lagi, jika kritik terhadap pemerintah tersebut hanya digunakan sebagai alat pendongkrak popularitas belaka—yang berujung tidak memperbaiki kesalahan pemerintah, malah memperburuk situasi negara.
Selain harus dilontarkan oleh ahli bidangnya, kritik juga seharusnya bersifat membangun, dalam artian kritik tersebut seyogianya disampaikan dengan cara dan tujuan yang baik. Kita tidak sepatutnya melakukan labelling dengan memberikan label-label buruk pada pemerintah. Karena, label tersebut akan membentuk sebuah stigma buruk di masyarakat yang akan berdampak buruk pula secara psikologis.
Sebagai contoh jika seseorang terus menerus dijuluki “pembohong” atau “pencuri” maka ia akan merasa bahwa dirinya memang pembohong/pencuri dan berujung ia akan melakukan hal tersebut. Hal yang sama juga berlaku jika para pemerintah dan dewan rakyat terus menerus dilabeli sebagai koruptor, tidak memikirkan rakyat, pengkhianat, dan sebagainya maka hal ini sedikit banyak juga dapat mempengaruhi mereka untuk berbuat hal buruk tersebut. Allah swt. juga telah berfirman;
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan berbantahlah dengan mereka secara baik ”(QS. An-Nahl: 125)
Maka, sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar—dan juga dakwah kepada jalan Allah—kritik dan nasihat kepada pemerintah pun harus dilakukan dengan penyampaian yang proporsional agar lebih dapat diterima. Karena, sebagaimana kita, para ululamri yang merupakan manusia biasa juga pasti lebih bisa menerima nasihat yang disampaikan dengan baik.
Intinya, selain sebagai warga negara yang menganut paham demokrasi, kita juga harus sadar bahwa kita adalah seorang muslim. Dan memang, harus kita akui, salah satu kekurangan sistem demokrasi adalah semua orang dapat mengekspresikan kebebasan berpendapat, yang dapat berakibat banyaknya orang bicara melebihi kapasitasnya dan berujung memperkacau keadaan. Namun, hal ini dapat diredam jika kita menyadari bahwa kita adalah seorang muslim yang tidak sepatutnya menyelisihi ajaran agama dengan berbicara di luar kemampuan, apalagi cara penyampaiannya dilakukan dengan cara yang tidak beradab.
Wal’iyadzu billah, wallahu a’lam.
Penulis: Gelar Washolil Autho’
Referensi;
Al-Quran Al-Karim
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim ibni Al-Hajjaj
https://www.sehatq.com/artikel/labeling-tak-baik-untuk-kesehatan-mental-ini-alasannya
Tidak ada komentar