ansormesir.org-Lahir dan tumbuh di Baghdad, al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Abu Muhammad atau lebih masyhur dengan al-Barbahari adalah seorang ulama besar bermazhab Hambali. Barbahar dinisbahkan kepada obat herbal yang berasal dari India, lantas kemudian disandarkan kepada al-Hasan bin ‘Ali karena beliau dikenal sebagai penjualnya. Terdapat perbedaan mengenai tahun lahir beliau (252 atau 233 H), tapi catatan sejarah menyebutkan beliau wafat di provinsi Bisha (Arab Saudi sekarang) pada tahun 329 H.
Al-Barbahari memiliki dua orang guru utama, yaitu Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin ‘Abd al-Aziz Abu Bakr al-Marrudzi (275 H) dan Sahl bin Abdullah bin Yunus bin al-Tustari Abu Muhammad (283 H). Mereka berdua adalah pembesar Hanabilah yang menimba ilmu langsung dari Imam Ahmad bin Hanbal. Berkat pendidikan dari mereka-lah terbentuk personalitas dan karakter al-Barbahari. Selain Abu Bakr al-Marrudzi dan al-Tustari, ada banyak guru al-Barbahari yang tak terdokumentasikan.
Melalui beberapa cara al-Marrudzi bersikap, kita dapat memahami bagaimana karakteristik beliau. Saat beliau ditanya tentang bacaan Al-Qur’an yang terdapat lahn (kesalahan), dengan tegas jawaban al-Marrudzi “Jangan kau dengarkan, itu bidah”. Beliau juga berpendapat bahwa barang siapa tidak percaya bahwa kelak Allah bisa dilihat di akhirat, maka dia kafir. Pada kesempatan lain, beliau juga pernah melarang bermakmum kepada orang yang tidak diketahui cara salatnya. Hal ini dikarenakan bidah sedang merajalela waktu itu, sehingga memang perlu dilakukan tindak preventif untuk itu.
Pada masa hidup al-Barbahari, Khalifah Dinasti Abbasiyyah yang berkuasa kala itu adalah al-Qahir Billah didampingi wazir-nya Ibnu Muqlah. Mereka dihasut oleh para pelaku bidah sehingga memusuhi al-Barbahari, sebagaimana pernah terjadi pada masa Imam Ahmad. Para prajurit kerajaan diutus untuk mengejar dan membunuh beliau. Perbedaan pemahaman mengenai konsep ahlusunah membuat nyawa beliau terancam, bahkan wafat dalam persembunyian.
Berangkat dari kondisi sosial-politik dan pengaruh gurunya, terbentuklah karakteristik pemikiran al-Barbahari yang cenderung keras dan pragmatis. Kumpulan pendapat beliau tertuang dalam satu-satunya kitab kecil karangan beliau yang masih terselamatkan sampai sekarang, yaitu Syarh al-Sunnah. Kitab tersebut berisi 170 poin pemikiran beliau mengenai pokok-pokok agama Islam.
Pada poin pertama, beliau menegaskan bahwa Islam dan Sunah adalah dua term yang sama. Keduanya tidak bisa berdiri sendirian. Hal ini tentu membingungkan. Secara masyhur kita tahu bahwa Islam adalah agama, sedangkan Sunah adalah segala ahwal Nabi Muhammad SAW. Bila mengacu pada syarah kitab ini sekarang, seperti Ithâf al-Qâri nya Shalih Fauzan, Islam adalah seperangkat jalan menuju rida Allah yang datang melalui dakwah Nabi Muhammad SAW. Padahal ketika kita telisik melalui pendekatan historis, tentu pendapat ini lahir dari kebrutalan ahli bidah saat itu, sehingga menyelisihi Sunah berarti keluar dari Islam.
Selanjutnya, pada poin kesebelas al-Barbahari menyebutkan:
(11) واعلم رحمك الله : أنه ليس في السنة قياس, ولايضرب لها الأمثال, ولا تتبع فيها الأهواء و(إنما) هو التصديق بآثار رسول الله ﷺ بلا كيف, ولا شرح ولا يقال لم وكيف؟
“Ketahuilah bahwa dalam Sunah (Islam) tidak ada Qiyas dan tidak ada baginya permisalan dan ruang bagi hawa nafsu. Sunah adalah membenarkan peninggalan Rasulullah SAW. tanpa pertanyaan bagaimana dan mengapa, serta tanpa penjelasan.”
Sebagai Imam yang membela ahlusunah, tentu statement ini agak aneh. Apakah beliau menafikan kehujahan Kias(persamaan hukum dalam Islam)? Bila referensi tersebut dijelaskan oleh mereka yang menolak Kias, tentu akan diarahkan pada devalidasi penghujahan menggunakan metode Kias. Padahal yang dikehendaki adalah ketiadaan Kias dalam aspek akidah. Seluruh elemen kepercayaan adalah murni tauqifi (ketetapan) dari Allah melalui apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Berbeda dengan Asy’ariyyah yang mengamini adanya qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid (kias metafisik dengan alam fisik atas kesamaan tertentu) sebagai bukti eksistensi Allah.
Bicara tentang Asy’ariyyah, ada kisah menarik antara al-Barbahari dan Abu Hasan al-Asy’ari (324 H). Mereka berdua hidup sezaman, dan pernah bertemu di Baghdad. Saat bertemu, Imam Asy’ari berkata “Saya telah meng-counter banyak syubhat seperti dari al-Jubba’i dan Abu Hasyim, bahkan orang Nasrani dan Majusi”. Al-Barbahari malah menimpali “Saya tidak tahu apa yang kau katakan. Saya hanya tahu kebenaran dari Imam Ahmad bin Hanbal.” Setelah kejadian itu, Imam Asy’ari mengarang kitab al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah.
Watak keras yang dibawa al-Barbahari tentu terbentuk lantaran kondisi sosial-politiknya yang keras. Mendiskusikan ilmu kalam juga dianggap bentuk kesesatan. Bahkan di banyak poin, beliau menegaskan segala bentuk bidah dapat menjatuhkan orang ke jurang kekufuran. Hal ini yang kemudian banyak ditiru kaum Wahabi-Salafi zaman modern. Mereka menisbahkan pendapat purifikasinya ala Hambaliyah, padahal tidak dengan kondisi yang sama. Pembacaan mereka terlalu tekstualis tanpa didukung dengan pengamatan realitas, sehingga malah banyak menimbulkan konflik di tengah umat beragama sekarang. Padahal tujuan al-Barbahari saat itu adalah membentengi akidah ahlusunah.
Oleh: Muhammad Al- Fayyadh Maulana
Editor: Syihabudin Alawy
Baca juga artikel lainnya di rubrik Mimbar dan selasar. Jangan sampai ketinggalan Kabar lainnya!
Tidak ada komentar