Menakar Dua Klaim Kebenaran di Tubuh Wihdah

waktu baca 9 menit
Senin, 22 Jul 2024 18:05 0 23 Muhammad Haidar

ansormesir.org– Setelah sebelumnya saya menganalisis serta beropini tentang Surat Keputusan DPA Wihdah PPMI Mesir pada tulisan berjudul Bias Regulasi Wihdah dan Sanksi yang Tendensius, kini, beberapa hari setelah Siaran Pers DPA Wihdah dengan nomor 02-C10/DPA-WIHDAH/VII/1445-2024 dirilis, saya kembali merasa terdorong untuk mencoba menelisik benang merah dalam simpul kusut Wihdah beberapa waktu lalu. Tulisan ini, secara struktur merupakan investigasi rentetan keterangan pada Siaran Pers DPA Wihdah (objek material) dengan hasil wawancara kepada Mujida Amaniyya (objek formal). Siaran Pers tersebut saya anggap sudah final sebab secara resmi telah dikeluarkan DPA Wihdah, sehingga membuat saya merasa cukup dengan keterangan dari sana, tanpa mewawancarai pihak DPA Wihdah. Adapun keterangan dari Mujida merupakan perspektif komparasinya.

Pertama, terkait pelanggaran Mujida meninggalkan Mesir dan hal-hal yang mengitarinya. Pada poin satu, dua, dan tiga DPA Wihdah menjelaskan bahwa Mujida meninggalkan Mesir sebanyak dua kali. Pada bulan April, Mujida meminta izin kepada Hunna selaku Ketua DPA 1 Wihdah untuk keluar Mesir dengan alasan umrah dan kepentingan pribadi. Dari keterangan DPA Wihdah, Hunna akhirnya tetap mengizinkan Mujida padahal jelas-jelas melanggar AD/ART Wihdah, bahkan Mujida meminta Hunna guna merahasiakan kepulangannya dari anggota DPA lainnya.

Menurut hasil wawancara saya, Mujida membenarkan proses perizinan dengan Hunna sebagaimana tercantum dalam siaran pers tersebut. Namun, Mujida membantah interpretasi Hunna atas permintaannya untuk merahasiakan kepulangannya dari DPA Wihdah lainnya. Mujida hanya meminta untuk merahasiakannya dari publik, meski tidak secara eksplisit, tapi tidak ada diksi secara lugas bahwa ia melarang Hunna memberitahukannya kepada DPA Wihdah lainnya. Mujida hanya mengatakan “Tapi rahasia yaa.” Berikut bukti kami lampirkan. (1). Dari bukti tersebut, ketika Hunna diminta merahasiakan kepulangan itu dan sadar prosedurnya, lazimnya dia sebagai pimpinan DPA Wihdah yang berintegritas memberitahu anggota DPA Wihdah yang lain serta melarang kepulangan Mujida. Kendati demikian, saya tidak menafikan pelanggaran Mujida berupa umrah dan atau kepentingan pribadi itu.

Lebih lanjut, dalam SK DPA Wihdah disebutkan ‘Memperhatikan: Rapat DPA Wihdah PPMI Mesir pada tanggal 13 Juli 2024”. Artinya, pada rapat itu seharusnya ada pembahasan mengenai pelanggaran Mujida yaitu meninggalkan  Mesir karena umrah. Namun, hasil wawancara saya dengan Mujida menunjukkan hal yang lain. Bahwa, kepulangan Mujida pada 11-24 April 2024 karena umrah tidak dibahas sama sekali pada rapat itu. Berikut bukti saya lampirkan (2). Pada poin ini, bukan tujuan saya menafikan kesalahan Mujida berupa umrah (meninggalkan Mesir tanpa kepentingan Organisasi Wihdah dan atau keperluan mendesak), tapi saya mencoba meruntut SK DPA dan Siaran Pers DPA. Nihilnya pembahasan umrah menafikan kebenaran keterangan dalam Siaran Pers DPA pada poin nomor satu, sebab sanksi ditetapkan dengan memperhatikan Rapat DPA Wihdah yang tidak membahas hal itu. Jikalau memang DPA mengetahui perihal umrahnya Mujida (Siaran Pers DPA nomor enam) dan rangkaian izin yang problematis, mengapa tidak dibahas dalam Rapat DPA Wihdah tanggal 13 Juli 2024 tersebut? Bukankah tujuannya untuk pendisiplinan AD/ART?

Mujida kedua kali meninggalkan Mesir pada 17-25 Juni 2024, sebagaimana termaktub dalam poin keempat Siaran Pers DPA Wihdah, diketahui bahwa Mujida melakukan perjalanan ke Indonesia untuk kepentingan mendesak dan urusan Wihdah, tapi tidak dengan izin yang sah dari DPA Wihdah. Kita dapat mengetahui detail alasan kepulangan Mujida bersama Dr. Nahlah melalui Surat Permintaan Maaf-nya yang rilis pada 14 Juli 2024 dengan nomor 01-A13/WIHDAH-PPMI/XXXIV/VII/1446-2024 dalam uraiannya di awal. Pertanyaannya, bila berlandaskan AD/ART Wihdah kepulangan Mujida tidak bermasalah, lantas mengapa DPA Wihdah mempermasalahkan izin yang belum disepakati DPA Wihdah sendiri? Yang mana hal itu tidak ada regulasinya dalam AD/ART Wihdah, sedangkan kepulangan Mujida sudah memenuhi kualifikasi dalam ART Wihdah BAB III pasal 10 nomor 4.

Selanjutnya, pada poin ketujuh Siaran Pers DPA Wihdah menyebutkan bahwa Mujida diminta membuat laporan kepergiannya bersama Dr. Nahlah sebagai bentuk pertanggungjawabannya, tapi Mujida menolak. Perlu kita ketahui bersama, bahwa penolakan atas perintah dapat dimintai pertanggungjawaban bila perintah itu bersifat wajib. Artinya, dalam konteks organisasi Wihdah, bila ada aturan yang mewajibkan Ketua Wihdah yang meninggalkan Mesir untuk membuat laporan, kemudian sang ketua menolak, tentu itu wajar bila dijadikan pertimbangan pemberiannya sanksi. Akan tetapi, bila tidak ada dasar formalnya dan DPA Wihdah yang meminta membuat laporan juga tidak mewajibkannya, tentu sangat janggal bila hal itu dijadikan pertimbangan untuk memberi hukuman. Berikut kami lampirkan bukti DPA Wihdah tidak mewajibkan laporan tersebut (3). Bagaimanapun, keputusan organisasi tidak boleh hanya didasarkan perasaan pantas-tidak pantas, tapi harus dilandasi aturan organisasi yang jelas.

Keengganan Mujida membuat laporan ternyata bukan hanya berdasar tidak adanya landasan formal, melainkan juga tidak adanya komunikasi dari pihak DPA Wihdah sebelumnya. DPA Wihdah, menurut penuturan Mujida baru memberitahukan bahwa kepulangannya bersama Dr. Nahlah merupakan pelanggaran pada tanggal 9 Juli 2024, sedangkan perintah membuat laporan perjalanan pada tanggal 1 Juli 2024. Rincian kronologinya akan saya uraikan di pembahasan poin besar kedua.

Hal lain yang berkaitan dengan perkara meninggalkan Mesir dua kali adalah pembuatan surat pembebastugasan dan pengangkatan pelaksana tugas (plt). Dalam AD/ART Wihdah memang tidak diatur bagaimana mekanisme alih jabatan dan tugas ketika ketua definitif berhalangan melaksanakan tugasnya. Namun sependek pemahaman saya, surat pembebastugasan memang tidak diperlukan sebagai dokumen terpisah atau syarat dalam penunjukkan pelaksana tugas sebab idealnya AD/ART telah mengaturnya. Adapun surat pembebastugasan biasanya diperlukan untuk mendokumentasikan alasan pengangkatan plt atau memberi kepastian kondisi ketua definitif sebab absen dalam waktu yang lama. Singkatnya, menurut saya surat pembebastugasan dan pengangkatan plt itu tidak cacat hukum (sebab tidak ada landasannya) tapi nir-moral karena tidak memberitahu pihak DPA Wihdah. Hal itu (tidak adanya regulasi) dibenarkan DPA Wihdah secara eksplisit dalam permohonan maaf-nya poin nomor dua.

Kedua, saya menyoroti adanya perbedaan pada poin nomor tujuh dan delapan yang dibacakan DPA Wihdah saat SPA tapi tidak tercantum pada dokumen tertulis Siaran Pers DPA Wihdah. Pada poin nomor tujuh terdapat keterangan “Tapi Saudari Mujida menolak dengan alasan itu bukan urusan Wihdah dan itu menggunakan uang pribadi serta sedang mengurus laporan LPJ dewan pengurus Wihdah PPMI Mesir” yang dibacakan saat SPA tapi tidak ada di Siaran Pers DPA. Berikut kami lampirkan buktinya (4). Saya mempertanyakan mengapa terdapat perbedaan antara dua dokumen itu? Bukannya yang dibacakan DPA merupakan siaran pers yang tersebar? Mengapa ada perbedaan? Adakah alasan di balik itu?

Saya mengandaikan dua kemungkinan alasan, yaitu terdapat kesalahan penulisan dalam dokumen tertulis yang tersebar dan kepentingan framing saat SPA. Kesalahan penulisan sangat wajar terjadi meski belum ada keterangan resmi dari DPA Wihdah. Sedangkan framing saat SPA, sangat mungkin terjadi, mengingat 25 kata tambahan dari DPA mengandung unsur seolah menciptakan penokohan Mujida yang tidak taat pada perintah DPA serta cenderung menyepelekannya. Di sisi lain, menurut Mujida, ia mengamini dirinya tidak membuat laporan seperti yang diminta, tapi dengan alur kronologis yang berbeda. Mujida mempertanyakan landasan ia harus membuatnya, lalu menjelaskan kepulangannya bukan dengan uang Wihdah melainkan mendapatkan pembiayaan dari pihak yang mengundang. Demikian tersebab tidak ada landasan formal yang mengharuskannya membuat laporan itu dan ada prioritas lain berupa pengurusan LPJ Kepengurusannya.

Kemudian, poin kedelapan yang dibacakan DPA Wihdah saat SPA tidak ada dalam Siaran Pers DPA Wihdah. Sehingga, urutan poin kesembilan yang dibacakan DPA Wihdah merupakan poin kedelapan yang tertuang dalam Siaran Pers DPA Wihdah. Poin nomor delapan versi SPA berbunyi “Pada tanggal 9 Juli 2024 DPA Wihdah memberitahu kepada Saudari Mujida bahwasanya akan diadakan sidang pada tanggal 13 Juli 2024 untuk membahas perkara ini dan DPA Wihdah telah memesan Auditorium Wisma Nusantara untuk sidang yang akhirnya dibatalkan hingga harus membayar denda. Tapi Saudari Mujida menolak untuk sidang, pada akhirnya DPA sepakat bahwa perkara ini akan dibahas pada rapat antara DPA Wihdah bersama Ketua Wihdah”. Berikut bukti saya lampirkan (5).

Poin kedelapan di atas, setelah saya konfirmasi kepada Mujida Amaniyya, ternyata dia mengaku tidak pernah menolak untuk sidang tapi justru pihak DPA Wihdah yang membatalkan secara pihak. Perkara ini bermula pada tanggal 6 Juli 2024 dimana DPA Wihdah menyampaikan undangan kepada Mujida untuk melaksanakan simulasi pemanasan LPJ pada 9 Juli 2024. Seusai acara, DPA Wihdah mengabarkan bahwa akan ada sidang istimewa pada tanggal 13 Juli 2024 sebab pelanggaran AD/ART oleh Mujida tanpa ada komunikasi sebelumnya. Saat itulah Mujida mengaku baru diberitahu DPA Wihdah terkait pelanggarannya. Merasa ada prosedur yang kurang, Mujida sempat menolak sidang, tapi kemudian bersedia sebagai bentuk tanggungjawabnya. Namun pada tanggal 12 Juli 2024 malam, pihak DPA Wihdah mengirim surat pembatalan sidang kepada Mujida serta menggantinya dengan Rapat DPA Wihdah bersama Ketua Wihdah. Adapun rapat antara DPA Wihdah dan Ketua Wihdah tentu tidak masuk akal bila harus sampai menyewa Auditorium Wisma Nusantara. Tambahan keterangan saat SPA tentu seakan menempatkan DPA Wihdah sebagai korban penolakan Mujida, padahal yang terjadi tidak demikian menurut Mujida. Berikut bukti saya lampirkan (6).

Saya juga menyoroti poin kesepuluh dan sebelas pada Siaran Pers DPA Wihdah, Saudari Hunna Ketua 1 DPA Wihdah dinyatakan bersalah dan akan disanksi sebab memberikan izin pagi pelanggaran AD/ART Wihdah. Saya sudah melihat Surat Permintaan Maaf DPA Wihdah bernomor 01-C10/DPA/WIHDAH-PPMI/VII/1445-2024, tapi tidak dengan permintaan resmi dari pribadi Hunna. DPA Wihdah memohon maaf atas kelalaiannya dalam mengawal AD/ART Wihdah dan atas tidak adanya regulasi perpulangan bagi Ketua Wihdah. Demikian berarti perizinan dari Hunna memang problematis baik secara regulasi maupun pribadi.

Ketiga, saya kembali menegaskan poin kejanggalan seperti pada tulisan saya sebelumnya Bias Regulasi Wihdah dan Sanksi yang Tendensius, yaitu tidak adanya publikasi resmi dari media sosial DPA Wihdah terkait dokumen yang dikeluarkan. Bahkan, Surat Keputusan pemberian sanksi sekalipun tidak dikirim terlebih dahulu secara formal kepada penerimanya (Mujida) melainkan justru diunggah tangkapan layar dokumennya melalui WhatsApp Story para Masisirwati. Hal ini menandakan buruknya komunikasi DPA kepada Ketua Wihdah khususnya maupun secara umum kepada masisirwati dalam kasus ini.

Akhir kalam, muara dari rentetan konflik yang terjadi menurut hemat saya adalah masih ambigunya regulasi yang ada serta kurang terbukanya komunikasi antar kedua pihak. Tanpa menutup kemungkinan adanya kepentingan lain di balik itu semua, saya berharap ke depannya Wihdah terus berbenah secara komprehensif sebagaimana layaknya organisasi induk keputrian di Masisir. Sehingga tidak lagi terulang kasus seperti ini dan Wihdah dapat semakin dekat mewujudkan empat tujuan mulianya. Amin.

Bukti Pernyataan Mujida dapat diunduh di bawah ini.

BuktiKeteranganMujidaAmaniyya.doc

Penulis: Muhammad Haidar (Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Mesir)

Jangan lupa baca juga tulisan menarik lainnya di Rubrik Selasar dan Mimbar, ya!

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA