Ansormesir.org–Semua orang sudah paham dan percaya, bahwa pendiri Nahdlatul Ulama adalah Hadratu asy-Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Meskipun begitu, ada beberapa orang yang menyebutkan, bahwa pendiri Nahdlatul Ulama adalah Kiai Wahab Hasbullah, murid Kiai Hasyim. Setelah mengetahui perbedaan pendapat tersebut, saya mendengar penjelasan yang menggabungkan dua perbedaan pendapat tersebut dari salah satu Kiai, ketika ngaji di pesantren, beliau mengatakan bahwa, pendiri pertama Nahdlatul Ulama adalah Kiai Hasyim, sedangkan Kiai Wahab adalah penggagas ideologinya.
Sebagaimana seorang penemu, yang harus melakukan beberapa percobaan, Kiai Hasyim juga melakukan hal tersebut, tapi yang beliau upayakan ketika mendirikan NU bukan dengan menguji beberapa sampel sebagai bahan percobaan, melainkan beliau melakukan riyadhah/tirakat. Salah satu cerita yang pernah saya dengar−cerita masyhur, ketika Kiai Hasyim hendak mendirikan NU, beliau melaksanakan salat hajat dua rakaat di setiap malamnya. Di rakaat pertama, beliau membaca surat At-Taubah sebanyak empat puluh satu kali, dan di rakaat kedua, beliau membaca surat Al-Kahfi sebanyak empat puluh satu kali.
Jika melihat tirakat Kiai Hasyim, kita sadar bahwa kita tidak akan mampu meniru hal tersebut. Namun, ada satu hal yang dapat kita tiru dari beliau, yaitu keikhlasan Kiai Hasyim ketika mendirikan NU. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Habib Abu Bakar bin Muhsin bin Umar Al-Athas, dalam acara pembacaan ratib al-haddad dan selawat, yang diselenggarakan oleh MDS Rijalul Ansor Mesir. Acara tersebut merupakan acara terkahir sebelum mahasiswa-mahasiswi Al-Azhar menunaikan ujian termin satu.
Pada acara tersebut, beliau berpesan kepada para pelajar untuk selalu ikhlas, seperti yang telah dilakukan oleh Kiai Hasyim. Beliau berpesan kepada kami untuk selalu ikhlas dalam melakukan kebaikan, khsususnya dalam menuntut ilmu. “Kalian harus meniru keikhlasan yang telah dicontohkan oleh pendiri Nahdlatul Ulama, yaitu Kiai Hasyim Asy’ari, sehingga kalian dapat menikmati indahnya menimba ilmu di Mesir ini”. Tutur beliau.
Mungkin ada pertanyaan yang terbesit dalam benak pembaca, ikhlas seperti apa yang harus diteladani dan ditiru dari Kiai Hasyim? Apakah ikhlas yang biasa digembor-gemborkan oleh para ulama? Ya, ikhlas yang seperti itu. Ikhlas berarti “memurnikan niat dalam melakukan suatu aktifitas atau ibadah hanya karena Allah SWT”.
Keikhlasan bukanlah hal yang remeh, bukan pula sifat yang mudah untuk dimiliki. Namun, keikhlasan adalah suatu sifat yang mengindikasikan kesetiaan terhadap tuhan. Lalu, apakah ikhlas bisa dikaitkan dengan tauhid (mengesakan Allah SWT)? Tentu, bahkan keikhlasan merupakan manifestasi dari tauhid.
Terkait keikhlasan sebagai manifestasi Tauhid, Al-Ghazali pernah menjelaskannya dalam Ihya’ Ulum ad-Din; orang yang mampu ikhlas saat beribadah, adalah orang yang benar-benar mengesakan tuhan. Karena, sejatinya ikhlas bagaikan susu putih yang diperas dari sapi, susu murni yang terlepas dari unsur lain−darah atau kotoran. Begitu pula dengan sifat ikhlas, ia adalah lawan dari kesyirikan. Jika ada orang beribadah yang masih tersirat perasaan ingin dilihat, didengar, dan dipuji orang lain, maka sesungguhnya, orang tersebut telah menyekutukan tuhannya. Dalam penjelasan ini, Al-Ghazali mengklasifikasikan hal tersebut ke dalam klasifikasi syirik khafi (samar). Jadi, dalam bertauhid dan beragama, kita harus selalu mawas diri, dan memikirkan apakah ibadah kita sudah bersih dari niat-niat yang lain dan murni hanya karena Allah SWT.
Lanjut Al-Ghazali; contoh dari ibadah yang kehilangan unsur ikhlasnya adalah, seorang pelajar yang tekun menuntut ilmu, namun dengan ilmunya, dia niatkan untuk meraup keuntungan duniawi. Contoh lain; orang yang gemar qiyamul lail, namun tujuannya untuk menjaga keluarga dan harta. Tentunya, masih banyak lagi ibadah yang tercampur dengan sifat-sifat yang berasal dari dorongan setan dan hawa nafsu, tanpa kita sadari.
Semoga Allah senantiasa memberi kita kekuatan untuk melaksanakan ibadah, dan memberi kita nikmat untuk menerapkan keikhlasan dalam penghambaan kepada-Nya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika mendirikan Nahdlatul Ulama, kemudian berkahnya dapat kita rasakan sampai hari ini. Amin.
“Kalian harus meniru keikhlasan yang telah dicontohkan oleh pendiri Nahdlatul Ulama, yaitu Kiai Hasyim Asy’ari, sehingga kalian dapat menikmati indahnya menimba ilmu di Mesir ini,” tutur Habib Abu Bakar bin Muhsin bin Umar Al-Athas.
Penulis: Syafil Umam (Wakil ketua Bidang Keilmuan dan Ideologi PC GP Ansor Republik Arab Mesir)
Editor: M. Yusron Wafi
Baca juga Essai, Opini dan Sastra dalam rubrik Selasar.
Tidak ada komentar