Handout penulis yang dipaparkan dalam acara peluncuran Thayyibian Academy pada Minggu, 30 Oktober 2022, di Aula KAHHA, PCINU Mesir. Adapun judul yang dimaksud adalah GIA untuk saat ini, yaitu Syekh Ahmad Ath-Thayyib dengan membidik fragmen-fragmen tata kata dan tata sikap beliau selama menjabat dari kurun waktu 2010-2022.
Prolog
Pada hari Jumat, 19 Maret 2010, Husni Mubarak (Presiden Mesir), mengeluarkan Kepres No. 62 tahun 2010 yang menunjuk Syekh Ahmad Ath-Thayyib menjadi Grand Imam Al-Azhar (GIA) yang baru paska berpulangnya GIA sebelumnya yang telah memimpin Al-Azhar selama 14 tahun lamanya, Syekh Sayyid Thantawi pada 10 Maret di Riyadh.[2]
Apabila menelisik sepak terjang Syekh Ahmad Ath-Thayyib sejak sebelum dipilih, hingga paska terpilihnya beliau, maka penunjukan beliau sebagai GIA bukan tanpa sebab. Hal ini diamini dengan fakta di lapangan, bahwa sejak The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) yang berpusat di Yordania mengeluarkan riset tahunan tentang 500 muslim paling berpengaruh di dunia sejak 2009 hingga kini, beliau tidak pernah lepas dari posisi 25 besar.[3]
Berpijak dari fakta tersebut di atas, riset mengenai keberpengaruhan sosok GIA dapat menjadi pertimbangan untuk menilai pengaruhnya terhadap peradaban dunia, khususnya umat muslim itu sendiri. Di satu sisi, penulis melihat bahwa pengaruh beliau tidak lepas dari corak narasi yang dibawa oleh GIA sejak terpilihnya hingga saat ini. Oleh karenanya, berikut beberapa corak narasi beliau yang menjadi katalisator untuk membaca pemikiran Syekh Ahmad Ath-Thayyib.
Responsif terhadap Isu-isu Global
Isu global memiliki dimensi yang begitu luas.[4] Al-Azhar sebagai institusi keagamaan berupaya untuk bersumbangsih dalam menjawab isu-isu global secara porsional dan proporsional. Misalkan, dalam isu regional kawasan Timteng, yang notabenenya telah menjadi isu global tidak hanya kalangan muslim saja, namun juga non muslim, yaitu Palestina. Syekh Ahmad Ath-Thayyib begitu intens mengangkat isu tentang Palestina, bahkan paska deklarasi[5] Donald Trump pada Rabu, 6 Desember 2017, tentang pemindahan kedutaan AS dari Israel dari Tel Aviv ke Yerussalem, dua hari setelahnya, Jumat, 8 Desember 2017, beliau mengutuk keras pernyataan tersebut dengan ungkapan, “perilaku tersebut merupakan penipuan yang nyata dan tidak dapat diterima sejarah, dan Yerussalem merupakan ibukota negara Palestina yang dijajah oleh zionis sang perampas.”[6]
Tidak hanya itu, sikap Syekhul Azhar berlanjut hingga penolakan terhadap Wakil Presiden AS, Mike Pence, yang akan berkunjung ke Masyikhah.[7] Sikap beliau dilanjutkan dengan arahan untuk mengadakan konferensi guna membahas dan mendukung Palestina. Akhirnya terselenggaralah “Konferensi Al-Azhar untuk Mendukung Palestina” pada 17-18 Januari 2018 di Kairo.
Isu-isu lain yang menjadi sorotan adalah isu tentang terorisme dan upaya untuk membenarkan kesalahan konsep berpikir yang berujung pada tindakan ekstrimisme, dan isu-isu lain yang direspon secara sigap oleh Syekh Ahmad Ath-Thayyib.[8]
Akomodasi Nilai-Nilai Universal
Manusia dengan latarbelakang dan struktur tatanan yang melingkupinya senantiasa memiliki ego untuk menyuarakan kebenaran yang menjadi keyakinannya. Syekh Ahmad Ath-Thayyib melihat bahwa hal itu merupakan naluri yang dimiliki setiap manusia. Namun, ketika memiliki kehendak berjalan seiring seirama, senada dan serasa dalam membangun peradaban manusia, maka proses kaplingisasi kebenaran seyogyanya tidak diperuncing dan dipertajam lagi gesekannya. Hal ini tercermin dari narasi dan sikap GIA yang memperjuangkan nilai-nilai universal antar pemeluk ajaran agama dalam pernyataan-pernyataan publiknya seringkali menitik beratkan hal tersebut.
Hal ini dikarenakan, beliau memahami posisi GIA adalah posisi strategis, sehingga narasi yang digulirkan tidak hanya diperuntukkan untuk umat muslim saja, namun juga pemeluk agama lain. Oleh karenanya, beliau concern dalam narasinya yang bersifat universal berporos pada 3 nilai: nilai keadilan, nilai egalitarian, dan nilai kebajikan kepada sesama manusia.[9]
Melembagakan Narasi dan Menarasikan Lembaga
Salah satu kepiawaian GIA dalam membaca kondisi dan situasi adalah banyaknya lembaga yang terbentuk dan aktif kembali di bawah arahan GIA. Syekhul Azhar melihat, kendati narasi itu urgen untuk mempersuasi publik agar memberikan atensi terhadap narasi yang dibawakannya, perlu adanya gerakan dari instasi yang berada di pundaknya agar tidak -kata pepatah Jawa- adhang-adhang tetese embun (berharap sesuatu dengan hasil apa adanya, seperti berharap pada tetes embun), sehingga dinilai perlu adanya lembaga yang mengejawantahkan gagasannya.[10]
Beberapa lembaga lembaga yang terbentuk di masa kepemimpinan Syekh Ahmad Ath-Thayyib yaitu: Rumah Zakat dan Sadaqah Mesir[11], Rumah Keluarga Mesir[12], Majelis Hukama al-Muslimin[13], Markaz Pembelajaran dan Pengembangan Mahasiswa Asing[14], Pusat Tinggi Al-Azhar untuk Fatwa Elektronik[15], Dewan Tinggi untuk Kemanusiaan[16].[17]
Tidak hanya berhenti dalam pembangunan secara fisik, Syekh Ahmad Ath-Thayyib berupaya menyuarakan lembaga-lembaga tersebut yang membuat banyak pihak menduplikat dan menjalin MoU dengan lembaga-lembaga yang ada.
Jika diamati secara seksama, lembaga-lembaga yang terbentuk memiliki narasi yang berbeda-beda, sebagai upaya membangunan peradaban yang humanis lagi religius yang berporos pada: schooling, charity, ideology, dialogue, humanity, networking.
Kita akan sering menjumpai narasi-narasi GIA yang berporos pada enam hal tersebut. Hal ini dikarenakan konflik-konflik peradaban dapat diselesaikan apabila kelima sumbu tersebut tetap menyala dan saling berkelit kelindan.
Revitalisasi dan Reaktualisasi Khazanah Islam Klasik
Diskursus mengenai pembaharuan wacana keagamaan begitu didengungkan pada beberapa tahun belakangan oleh para cendekiawan, ulama, dan profesor terlepas dari berbagai preferensi keilmuannya dan mazhabnya. Berbagai konferensi, seminar, maupun forum-forum diskusi telah digalakkan guna membincang posisi turats pada bangsa Arab khususnya, dan umat Islam pada umumnya.[18]
Pada Konferensi Internasional Al-Azhar untuk Pembaruan Pemikiran Islam yang diselenggarakan pada 27-28 Januari 2020 di Kairo, perdebatan Syekh Ahmad Ath-Thayyib dan Dr. Utsman Khast, Rektor Universitas Kairo terkait pembaharuan turats dan wacana keagamaan menarik untuk diulik dan ditelisik. Rektor Universitas Kairo berpandangan bahwa tidak perlu merekontruksi “bangunan tua”, akan tetapi perlu membangun bangunan baru sesuai dengan klasifikasi modern. Sementara itu, Syekh Ahmad Ath-Thayyib berpandangan pentingnya turats yang telah membentuk umat secara komprehensif, adapun perselisihan mengenai wacana pembaharuan ini adalah konflik politis.
Pandangan GIA ingin mengetengahkan bahwa turats bukanlah bangunan yang usang dan kemudian ditinggalkan tanpa menaruh harapan. Berangkat dari hal tersebut, GIA memberikan instruksi untuk mengaktifkan dan mengintensifkan kembali ruwaq-ruwaq di Al-Azhar dan mengajarkan kembali sistem pmbelajaran di ruwaq dan zawiyah masjid-masjid, khususnya masjid Al-Azhar.[19] Di samping itu, GIA juga mengaktifkan kembali penerbitan-penerbitan kitab-kitab klasik melalui Maktab Ihyâ at-Turâts al-Islâmy, dan juga menegaskan kepada Akademi Penelitian Islam Al-Azhar untuk membaca wacana dan problematika kontemporer, dengan berpijak kepada turats-turats Islam.
Penegasan Ideologi
Ketidakjelasan ideologi mampu menghantarkan seseorang kebimbangan sikap. Satu sisi ia dapat bersikap permisif sekali, di sisi lain ia bersikap eksklusif dan memfetakompli kebenaran sesuai kehendaknya. Asupan-asupan eksternal tanpa adanya konsep ideologi yang jelas, berpotensi membuat seseorang bersikap ekstrim, baik kanan, kiri, maupun ekstrim tengah, meminjam istilah Haedar Nashir.
Syekh Ahmad Ath-Thayyib, sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian di dunia menegaskan melalui narasi-narasinya tentang urgensi ideologi yang dianut. Hal ini mengapa dalam berbagai kesempatan beliau menegaskan kembali konsep Ahlus Sunah wal Jamaah yang merupakan kelompok: Asyairah, Maturidiyah dan Ahlu Hadis.[20]
Di lain kesempatan beliau selalu mengetengahkan ideologi yang moderat dan menyerukan perdamaian dengan pemahaman keagamaan yang benar yang berimplikasi pada sikap untuk membangun peradaban yang harmoni.[21]
Konsep kenegaraan juga sering ditegaskan oleh beliau tentang pentingnya sikap cinta tanah air dan menjadi seorang yang agamis dan nasionalis. Hal ini berangkat dari fenomena munculnya gerakan-gerakan transnasional yang berhaluan dengan ideologi negara dan berpotensi merusak tatanan negara dan norma kebersamaan (shared norm).
Dialog dengan Peradaban Barat dan Kolaborasi dengan Tokoh Agama dan Negarawan
Syekh Ahmad Ath-Thayyib begitu tugas mengomentari dikotomisasi peradaban Barat dan Timur, apalagi jika masing-masing pihak berjalan dengan tujuannya sendiri-sendiri tanpa ada kolaborasi dan membawa ego primordialis. Hal ini sebagaimana ungkapan beliau ketika mengomentari Joseph Rudyard Kliping, seorang penyair Inggris yang mengatakan, “Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, keduanya tidak akan berjumpa.” Beliau mengatakan:[22]
“Kami kabarkan kepada hadirin sekalian kematian ungkapan Kliping, ‘Timur adalah Timur, Barat adalah Barat dan keduanya tidak akan berjumpa’, yang mana ungkapan ini membuatku sedih untuk mengulanginya, seperti melodi yang mengganggu ritme dan memekakkan telinga, mengacaukan perasaan persaudaraan sesama manusia dengan sangat tidak masuk akal, di samping meruntuhkan perdamaian internasional dan menguburkannya selamanya. Oleh karenanya, saya berharap agar kita menghidupkan kembali ungkapan penyair Jerman, J.W. von Goethe, ‘Barangsiapa mengenal dirinya dan orang lain, dia akan mengetahui juga di sini bahwasanya Barat dan Timur tidaklah terpisah.’”
Oleh karenanya, pada 8-9 Juni 2015, di kota Firenze, Italia, diakan perjumpaan dengan para tokoh pemuka agama, sebagai titik tolak pergerakan Majlis Hukama al-Muslimin di masa mendatang dalam berkolaborasi dengan para pemuka agama lain.[23] Dalam pertemuan tersebut, narasi GIA dinilai dapat menjadi renungan ketika beliau meredefinisikan konsep term “Barat” dan “Timur”, mendedah anggapan-anggapan kedua pihak satu dengan lainnya, menawarkan pendekatan kedua belah pihak, serta menegaskan fungsi esensial perjumpaan tersebut.[24]
Di samping kolaborasi dengan para pemuka agama lain, Syekh Ahmad Ath-Thayyib juga berbagai jaulah kenegaraan, di antaranya ke negara-negara Asia Tenggara yaitu: Indonesia, Singapura dan Brunei Darussalam.[25]
Epilog
Memotret sosok Syekh Ahmad Ath-Thayyib tidak cukup dipaparkan dalam tulisan singkat ini, membaca identitas dan personalitas beliau memerlukan kajian yang lebih intens. Paparan-paparan yang disebutkan dalam tulisan hanya sekedar menangkap fragmen-fragmen narasi beliau –baik melalui tata kata, maupun tata laku—itu pun sekadar sample, tanpa mengkajinya secara komprehensif.
Corak-corak narasi Syekh Ahmad Ath-Thayyib dapat digunakan untuk membaca konteks masalah atau konflik yang serupa di masa yang akan datang. Apakah akan nada repitisi dari pernyataan beliau? Apakah terdapat perkembangan dari narasi-narasi dalam konteks yang sama? Apakah pernyataan beliau reliabel? Juga pertanyaan-pertanyaan lain yang menarik untuk diajukan ketika membaca narasi yang didengungkan oleh Syekh Ahmad Ath-Thayyib dalam membangun peradaban yang humanis dan religius.
[1] Handout penulis yang dipaparkan dalam acara peluncuran Thayyibian Academy pada Minggu, 30 Oktober 2022, di Aula KAHHA, PCINU Mesir. Adapun judul yang dimaksud adalah GIA untuk saat ini, yaitu Syekh Ahmad Ath-Thayyib dengan membidik fragmen-fragmen tata kata dan tata sikap beliau selama menjabat dari kurun waktu 2010-2022.
[2] Lihat lembaran negara No.11 pada 20 Maret 2010. Lihat juga: https://www.reuters.com/article/oegtp-azhar-imam-sk6-idARACAE62A01520100311, diakses pada Kamis, 27 Oktober 2022, pukul.12.41.
Jabatan GIA sendiri ditetapkan melalui rekomendasi Dewan Ulama Senior Al-Azhar dengan pemilihan yang dihadiri oleh 1/3 anggota dewan, yang menghasilkan 3 rekomendasi nama yang memenuhi kualifikasi yang kemudian diserahkan ke Presiden Mesir untuk akhirnya dipilih.
Lihat: Muhammad Abdul Mun’im al-Khafaji, Ali Subhi, Al-Azhâr fî Alfi ‘Âm, Vol.1, Cet.3, al-Maktabah al-Azhariyyah li at-Turâts, Kairo, 2011, hal. 225.
Muhammad Abdu Syakur (20 Januari 2012), Teks UU Pemilihan Syekh Azhar Terbaru, dikases dari https://alwafd.news
[3] Riset ini dilakukan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (https://rissc.jo/ ) dengan didukung oleh Pusat Pangeran Alwalid Bin Talal untuk Pemahaman Muslim-Kristen dan Sekolah Layanan Luar Negeri Edmund A. Walsh Universitas Georgetown (https://acmcu.georgetown.edu/) yang mana partipasi bagi responden dapat diakses melalui https://themuslim500.com/
[4] Isu global sendiri memerlukan batasan untuk akhirnya problematika-problematika yang ada dapat diselesaikan secara intensif dan kolaboratif. Hal ini mengapa, pada 25 September tahun 2015, PBB membuat resolusi agenda pembangunan berkelanjutan 2030/SDGs, yang mana memuat goal selama 15 tahun yang terejawantahkan dalam 17 goal dengan 169 target. Lihat: Kata Pengantar dalam buku “TERJEMAHAN TUJUAN & TARGET GLOBAL TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB)/SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs), BAPPENAS, 2017”.
[5] Secara lebih mendetail, pernyataan Donald Trump dapat diakses pada lik berikut https://it.usembassy.gov/statement-president-trump-jerusalem-december-6-2017/
[6] Sehari sebelum pernyataan Donald Trump, Selasa, 5 Desember 2022, Syekh Ahmad Ath-Thayyib juga memperingatkan Tony Blair, Mantan PM Britania Raya, bahwa pemindahan kedutaaan-kedutaan ke Yerussalem akan menyulut kemarahan umat muslim dan menciderai perdamaian dunia. Kemudian pada hari Jumat, beliau menghimbau kepada semua masjid di Mesir agar menarasikan tema “Palestina dan Identitas Bangsa Arab”. Majlis Hukama al-Muslimin, ‘Urwah al-Quds, Dâr al-Quds al-‘Araby, Kairo, cet. II. 2018, hal. 27-28.
[7] Syekhul Azhar menolak untuk menerima Wakil Presiden AS sebagai tanggapan atas keputusan Trump tentang Yerusalem, diakses dari https://www.france24.com/ (8 Desember 2017)
[8] Pada tahun 2014, dikala eskalasi serangan teroris di Mesir meningkat khususnya di Sinai pada 24 Oktober 2014, serangan teroris menewaskan 31 AB dan Apkam Mesir. Selanjutnya, pada 3-4 Desember 2014, diadakanlah konferensi tentang perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme. Di sisi lain beliau juga memiliki karya khusus berkenaan dengan konsep jihad, yang mana beliau membahas secara ringkas, perbedaan definitif antara term berperang dan jihad, faktor yang melatarbelakanginya, falsafah berperang dan bahasan lain yang beliau ulas secara ringkas dalam buku tersebut. Lihat: Ahmad Ath-Thayyib, Mafhûm al-Jihâd fî al-Islâm, al-Hukamâ li an-Nasr, Abu Dhabi, cet.I, 2019, hal. 64.
[9] Ahmad Ath-Thayyib, al-Qaul at-Thayyib, Vol.II, Dâr al-Hukamâ li an-Nasr, Abu Dhabi, 2021, hal.178.
[10] Pada hakikatnya, apa yang dilakukan oleh GIA lebih dari sekedar lembaga, karena secara realita, muncul berbagai majelis dan badan di bawah kepemimpinan beliau.
[11] https://baitzakat.org.eg/about/
[12] https://www.facebook.com/baitulaila/
[13] https://www.muslim-elders.com/ar
[14] https://www.facebook.com/iasgazhar.eg/
[15] https://www.facebook.com/fatwacenter/
[16] www.forhumanfraternity.org
[17] Untuk akses lebih detailnya mengenai perkembangan lembaga-lembaga dan badan-badan yang diprakarsasi beliau dapat diakses pada: https://www.azhar.eg
[18] Kecenderungan dalam memahami pembaharuan khazanah Islam klasik yang melahirkan berbagai pandangan pendekatan, khususnya di Mesir ditengarai dengan dua pandangan. Pertama, paska perang Juni 1967 yang membuat bangsa Arab mempertanyakan masa lalu, kini, dan akan datang. Kedua, paska kolonialisasi Perancis melalui Napoleon Bonaparte ke Mesir. Lihat: Syekh Ahmad Thoyib, at-Turâts wa at-Tajdîd Munâqasât wa Rudûd, Dâr al-Quds al-‘Araby, Kairo, Cet. III, 2019, hal. 25-29. Lihat juga: Ahmad Ath-Thayyib, Maqâlât fî at-Tajdîd, Dâr al-Quds al-‘Araby, Kairo, hal. 8.
[19] Untuk lebih lengkapnya mengenai sistem pembelajaran agama sejak zaman berdirinya hingga sistem saat ini, dapat dilihat pada: Ahmad Fathi Abdurrahman Hijazi, Hakadza ‘Allama Al-Azhar al-Ummah; Istiqrâ Târîkhi li at-Ta’lîm al-Azhar ‘abra al-‘Ushûr, ar-Ruwâq al-Azhary, 2017.
[20] Lihat: Ahmad Ath-Thayyib, Ahlu as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Dâr al-Quds al-Araby, Kairo, cet. II, 2019, hal. 18. Salah satu upaya beliau juga adalah mendirikan Markaz al-Imam al-Asy’ari dan memiliki buku khusus tentang Imam Asy’ari yaitu: Nadzarât fî Fikr al-Imâm al-Asy’ari, Dâr al-Quds al-‘Araby, Kairo, Cet. III, 2019.
[21] Untuk dapat memahami konsep moderat menurut belaiu, dapat ditinjau teks pidato beliau ketika berkunjung ke Indonesia. Lihat: Rihlah al-Imâm at-Thoyyib ilâ Janûb Syarqi Âsiyâ, hal. 54-67.
[22] Majlis Hukama al-Muslimin, as-Syarq wa al-Gharb Nahwa Hiwâr Hadhâriy Insâniy, Dâq al-Quds al-‘Araby, Kairo, cet. II, 2018, hal.7.
[23] Perjumpaan ini disebut sebagai awal langkah gerak Majlis Hukama al-Muslimin untuk dialog peradaban dengan para pemuka agama lain, karena setelahnya berbagai langkah kolaboratif digalakkan, seperti perjumpaan yang kedua di Paris (Mei 2016), Jenewa (Oktober 2016), dst. Lihat: Majlis Hukama al-Muslimin, Rihlah al-Imâm at-Thoyyib ilâ Janûb Syarqi Âsiyâ, al-Hukama li an-Nasr, cet. II, 2019, hal. 9.
[24] Ibid., hal. 29-43.
[25]Apabila kita membaca narasi yang dibawakan oleh Syekh Ahmad Ath-Thayyib ketika berkunjung ke tiga negara ini, makan ada dijumpai fakta menarik bahwa narasi GIA berangkat dari lokalitas negara setempat. Seperti ketika berada di Indonesia, maka akan didapati beliau mengulas secara filosofis moderasi beragama, serta upaya pengejawantahannya dan kelompok Islam politik, serta waspada manuver-manuvernya. Ketika di Singapura, narasi GIA lebih fokus kepada pemaknaan kembali makna Islam itu sendiri dan juga upaya kolaborasi dengan non muslim, begitu juga ketika di Brunei Darussalam, maka akan dijumpai narasi Syekh Ahmad Ath-Thayyib fokus kepada tantangan umat dan juga terorisme. Adapun narasi yang menyatukan keseluruhan adalah narasi tentang persatuan dan bahaya terpecah belahnya umat, serta terorisme. Untuk pidato GIA di setiap negara, lihat dalam buku Rihlah al-Imâm at-Thoyyib ilâ Janûb Syarqi Âsiyâ:
Oleh: Fardan Satrio, Lc., Dipl.
Tidak ada komentar