Ansormesir.org—Membincang tentang Nuzulul Qur’an, tentunya kita harus membahas “lailatulkadar”. Yakni malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Karena pada malam itulah, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang disepakati oleh para ulama, dan harus kita amini, bahkan imani.
Setelah mengetahui kesepakatan di atas, apakah umat Islam akan menerima begitu saja, dan tidak menyoal hal tersebut dengan berbagai macam pertanyaan? Tentu, mereka akan bertanya tentang banyak hal. Mulai dari pertanyaan; Apakah Al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan, sekaligus dalam satu waktu (ed, pada malam lailatulkadar)? Atau malam itu menjadi waktu permulaan diturunkannya Al-Qur’an? Atau, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur? Apakah lailatulkadar ini hanya terjadi sekali dalam satu putaran bulan suci Ramadan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus kita jawab.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Grand Imam Al-Azhar, Syekh Ahmad Ath-Thayyib justru memblokade para penanya, supaya tidak lagi menanyakan hal-hal di atas. Sikap itu bukanlah omong kosong yang tidak dilatarbelakangi alasan yang jelas. Ada kekhawatiran besar yang mendesak beliau untuk memberikan sikap tersebut, yaitu kekhawatiran berupa ‘blunder’ yang dilakukan oleh umat Islam setelah mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Ketika kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan gamblang, maka yang terjadi pada umat Islam adalah, mereka berharap mendapatkan kesenangan duniawi belaka, bukan berniat untuk mendapatkan pahala dan rida dari Allah SWT.
Maka secara tabiat, tentu saja sikap beliau di atas akan menimbulkan kesangsian yang begitu menggundahkan. Namun siapa sangka, Syekh Ahmad Ath-Thayyib lagi-lagi memberikan pernyataan tegas perihal ‘asumsi kesangsian’ yang muncul dari beberapa kelompok. Beliau menjelaskan bahwa, peristiwa Nuzulul Qur’an di malam lailatulkadar adalah momen untuk memahami bagaimana Al-Qur’an mampu menjadi pembeda antara perkara hak dan batil, menjelaskan mana perkara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan (sebab mudarat), mengajarkan bagaimana supaya kita mampu bertanggung jawab menegakkan hukum dan keadilan, menyamaratakan hak sesama, dan menghindari perbuatan zalim di antara manusia.
Pernyataan seperti itu, jelas membuat kita termenung, dan bergumam: “Oh, ternyata begitu, ya”. Kemudian beliau melanjutkan alasan mengapa pertanyaan-pertanyaan di atas tidak boleh dilontarkan begitu saja. Karena Al-Qur’an telah mampu menjelma menjadi pelindung umat manusia, dan selamanya, Al-Qur’an akan menjadi benteng pertahanan manusia dari kehancuran dan perpecahan. Ya, pastinya ada syarat tertentu untuk mewujudkan hal itu, yaitu dengan memahami isi ajaran Al-Qur’an dengan baik dan tepat.
7 Poin Peradaban Peristiwa Nuzulul Qur’an
Kitab suci dan sakral ini berisi beberapa hal yang menyangkut kepentingan individu dan kepentingan bersama. Jika kita mau membaca dan menadaburi dengan lebih cermat, maka kita mampu memetik beberapa peradaban mulia di balik peristiwa Nuzulul Qur’an. Dalam kitab Al-Qaul ath-Thayyib. Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmad Ath-Thayyib menjelaskan peradaban-peradaban yang tersurat dalam Al-Qur’an. Dalam tulisan ini, mungkin hanya beberapa poin saja yang akan saya sajikan. Karena isi penyampaian yang beliau kemukakan dalam kitab tersebut berisi banyak peradaban. Dan tentunya ruang tulisan ini terlalu sempit untuk memuat semua itu.
Pertama, tujuan diturunkannya Al-Qur’an di malam lailatulkadar adalah untuk mendeklarasikan dan mengingatkan bahwa, dalam menjalin hubungan dengan umat non-muslim, kita harus bisa menghormati sisi kemanusiaan dan hak manusia yang melekat dalam diri masyarakat komunal.
Kedua, Al-Qur’an berikut peradabannya mampu membuka dan memperluas cakrawala keilmuan dan pengetahuan tanpa batas. Kemudian Al-Qur’an juga senantiasa mendorong umat Islam untuk menjadi pribadi yang memiliki fikrah kritis, dalam memahami problematika yang menyelimuti realitas kehidupannya. Dengan fikrah itu, mereka diharapkan mampu melakukan analisa yang dilengkapi bukti-bukti konkret. Lantas, alasan dianjurkannya penerapan peradaban Islam adalah, karena pada masa jahiliah, umat manusia terlanjur mengalami kejumudan dalam bertindak dan berpikir. Oleh karena itu, Islam melarang pemeluknya untuk terus-menerus taklid buta terhadap pemahaman yang tidak didasari dalil yang jelas, atau berpegangan terhadap pemikiran yang bias.
Ketiga, Al-Qur’an menjelaskan bahwa, setiap manusia berhak mendapatkan haknya dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga perempuan, Islam sangat memperhatikan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Dalam khazanah Islam dijelaskan bahwa, perempuan adalah anggota dari suatu komunitas, dia juga manusia yang berhak mendapatkan seluruh hak kemanusiaannya, dan memperoleh kebebasan untuk mengemukakan pendapat di depan khalayak umum.
Keempat, kedatangan Al-Qur’an bukan hanya dengan membawa ajaran agama, melainkan ia juga datang dengan membawa ajaran-ajaran yang berisi kemuliaan akhlak dan moral sosial. Dengan akhlak, seseorang dapat menghormati saudaranya, dan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap realitas yang sedang dijalani, baik suka maupun duka.
Kelima, Al-Qur’an mengajarkan kepada umat Islam perihal tanggung jawab yang harus dipikul, baik tanggung jawab yang bersifat individu maupun kolektif. Peradaban Islam mengajarkan kita untuk fokus mengimplementasikan tanggung jawab atau tugas masing-masing, tanpa menghambat orang lain dalam menyelesaikan tugasnya.
Keenam, peringantan Nuzulul Qur’an menjadi momentum bagi kita untuk terus mewujudkan rasa empati kepada umat beragama lainnya. Ya, hal ini kita kenal dengan istilah i’tidâl atau moderasi beragama. Hal seperti ini sama sekali tidak akan mencederai ajaran-ajaran Islam, bahkan hal ini merupakan esensi terpenting dari ajaran-ajaran Islam, yakni menciptakan kedamaian sosial, dan merawatnya dengan baik. Dengan tujuan suci tersebut, tentunya Islam sangat menekan pemeluknya untuk tidak sembrono dalam beragama. Karena tugas yang diutamakan dalam beragama adalah merawat keharmonisan dan menjaga hubungan baik antar umat beragama.
Ketujuh, Al-Qur’an mengajarkan kita untuk memahami sunnatullâh. Hal itu berupa perbedaan yang Allah titipkan dalam diri setiap makhluk-Nya. Mulai dari perbedaan pengetahuan, perbedaan profesi dan perbedaan rejeki yang didapat setiap harinya. Dalam hal ini, kita dituntut untuk menghormati setiap perbedaan yang ada. Karena rahasia dari perbedaan itu sendiri, bukan untuk membedakan ataupun mengunggulkan satu elemen masyarakat dengan elemen masyarakat lainnya, melainkan bertujuan untuk menciptakan keindahan dalam lingkungan sosial. Tentunya dalam hal ini, kita juga dituntut untuk mampu menyelaraskan perbedaan-perbedaan itu, dan menjadikannya sebagai alat untuk menciptakan stabilitas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Semoga dengan pembahasan yang saya angkat kali ini, kita mampu membuka mata dan mengetuk pintu hati untuk selalu memahami ajaran-ajaran yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dengan baik. Kemudian kita mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallâhu a’lam.
Namun siapa sangka, Syekh Ahmad Ath-Thayyib lagi-lagi memberikan pernyataan tegas perihal ‘asumsi kesangsian’ yang muncul dari beberapa kelompok. Beliau menjelaskan bahwa, peristiwa Nuzulul Qur’an di malam lailatulkadar adalah momen untuk memahami bagaimana Al-Qur’an mampu menjadi pembeda antara perkara hak dan batil, menjelaskan mana perkara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan (sebab mudarat), mengajarkan bagaimana supaya kita mampu bertanggung jawab menegakkan hukum dan keadilan, menyamaratakan hak sesama, dan menghindari perbuatan zalim di antara manusia.
Penulis: Syafil Umam (Wakil Ketua PC GP Ansor Mesir Bidang Keilmuan dan Ideologi)
Editor: M. Yusron Wafi
Tidak ada komentar