Dilema Konten Hadis di Media Sosial

waktu baca 5 menit
Rabu, 29 Mar 2023 04:33 0 15 Al Fayyadh Maulana

ansormesir.org-Akhir-akhir ini hadis sering mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari beberapa pihak. Kata-kata yang keluar dari lisan Nabi Muhammad SAW ini kerap diklaim sepihak, dari segi kualitas dan interpretasinya. Melalui sepenggal matan dan sepotong penilaian dari sosok yang tidak jelas kredibelitasnya, mereka memutlakan kebenaran pemahamannya atas banyak hadis. Dengan dalih kebebasan berpendapat, netizen ramai-ramai berpendapat mengenai hadis. Debat kusir pun tak bisa dihindari di kolom-kolom komentar.

Fenomena di atas dapat terjadi pada semua media sosial, mulai infografis, narasi, sampai video. Sebagai contoh, kita dapat melihat konten-konten pada akun Instagram ‘hadits_lemah’. Di sana mereka membawakan potongan matan hadis, kemudian mereka memberi stempel lemah, palsu, tidak bersanad, munkar, dll pada kualitasnya. Penilaian itu mereka dasarkan pada keterangan dari beberapa kitab hadis ataupun perawi secara sekilas. Kemudian mereka menuliskan caption berupa pernyataan-pernyataan yang terkesan agresif pada golongan tertentu. Akibatnya, berbagai komentar-pun tak jarang membanjiri postingan itu, lalu mereka membatasinya.

Mengaca pada kasus tersebut, sejatinya kita perlu mengetahui asas-asas dasar penilaian suatu hadis. Secara garis besar, objek penilaian hadis terdapat pada sanad dan matan. Untuk meneliti−secara mandiri−kualitas sanad hadis, diperlukan penguasaan beberapa cabang ilmu hadis seperti: takhrîj al-hadîts, jarh wa ta’dîl, ilal al-hadîts, tarîkh ar-ruwwât, dan dirâsah al-asânîd. Bila merujuk pada buku-buku klasik, kita perlu menguasai dan membaca begitu banyak kitab, seperti Tuhfah Al-Asyrâf, Al-Jami’ Aa-Shagr, Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Tahzîb Al-Kamâl fi Asma’ Ar-Rijâl, Al-Kamîl fi Dhu’afâ ar-Rijâl, Tarîkh Madînah As-Salâm, At-Tarîkh Al-Kabîr, Al-Bayan wa al-Ta’rif  fi Syarh Asbâb Al-Wurûd Al-Hadîts Asy-Syarîf, dan masih banyak lagi. Memperkaya referensi sangat penting bagi pengkaji hadis, agar dapat membandingkan pendapat para ulama secara komprehensif.

Meski kajian jalur transmisi hadis (sanad/riwayat) sangat penting, itu tidak cukup untuk kemudian memvonis kualitas suatu hadis. Diperlukan juga penelitian mengenai matan dan segala kandungannya secara implisit dan eksplisit, dengan berbagai disiplin keilmuan sendiri. Ilmu ma’âni al-hadîts, asbâb al-wurûd, gharîb al-hadîts, musthalahât fi al-hadîts, dll harus benar-benar dikuasai. Kitab-kitab semisal Muqaddimah Ibnu Shalâh, Tadrîb Ar-Râwi, Al-Bâ’its Al-Hatsîts, Manhaj An-Naqdy, Gharîb Al-Hadîts li Ibnu Al-Jauzi, ‘Ilal Al-Hadîts, Fath Al-Bâri, Al-Mustadrak li Al-Hakim, dan sederet kitab lainnya tentu tidak boleh hanya menjadi pemanis ruang tamu. Pastinya, pemahaman mendalam atas seluruh ilmu itu juga menuntut kecakapan Bahasa Arab dan gramatikalnya.

Konstruksi kompetensi dalam keilmuan hadis secara dirâyah dan riwâyah yang mapan tentu tidak mudah dicapai. Setelah semua itu dikuasai, perihal pemilihan pentahkik kitab, vonis kualitas, kontekstualisasi, sampai penempatannya di media sosial adalah perkara lain yang membutuhkan ketelitian paripurna. Orang yang memiliki progresivitas unggul seputar ilmu hadis tentu akan semakin berhati-hati dalam memberikan komentar. Sedangkan mereka yang awam, cenderung lebih brutal dan menyalahkan pihak-pihak lainnya. Itulah yang terjadi di banyak media sosial Indonesia.

Sebagai contoh, pada akun Instagram ‘hadits_lemah’ postingan tanggal 11 Februari 2023 ada konten mengenai hadis membaca Al-Qur’an di kuburan. Hadis tersebut divonis sangat lemah, karena terdapat perawi bernama Mujalid bin Sa’id yang dinilai pendusta oleh Ibnu Hazm dan Adz-Dzahabi. Pendapat itu mereka sadur dari kitab Siyar A’lam al-Nubala tanpa menyebut keterangan lanjutannya. Padahal, setelah saya cek kitab tersebut−dengan cetakan Muassasah Ar-Risalah Juz 13 tahkik Dr. Syu’aib al-Arnuth, keterangannya tidak demikian. Adz-Dzahabi hanya berkata ‘hadisnya lemah’ bukan ‘pendustaan’. Sedangkan di sana tidak ada nukilan pendapat Ibnu Hazm.

Lebih lanjut saya menemukan bahwa Yusuf al-Mizzi dalam Tahzîb Al-Kamâl menyebutkan, bahwa Imam Muslim dan Ahmad bin Hambal menerima riwayat dari Mujalid bin Sa’id. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Mathâlib Al-‘Aliyah menyebutnya tidak tsiqah, tapi mengalami demensia. Bahkan Ali al-Madini berkata, hadis dari Mujalid bin Sa’id adalah hasan. Terlepas dari Mujalid bin Sa’id, terdapat banyak perawi serta jalur sanad yang belum dijamah. Perbedaan pendapat yang luas ini tentu tidak dapat diwakili oleh satu putusan sepihak; tentang perawi yang bersangkutan pada hukum hadis, secara keseluruhan. Apalagi kajian mengenai matan hadis tidak disinggung sama sekali di akun tersebut.

Lain halnya dengan Instagram, Website, Youtube, TikTok, dll, yang juga memiliki masalahnya sendiri. Pada beberapa akun atau kanal, opini yang didukung hadis, interpretasi atas hadis, atau bahkan penilaian kualitas suatu hadis pada website biasanya ditulis ala kadarnya. Tidak sedikit, sajian video di TikTok juga ikut meramaikan kajian hadis, yang kurang dari satu menit. Bila ditanya mengapa? Tentu mereka akan menjawab, menyesuaikan pasar. Netizen Indonesia memang tidak suka yang ribet-ribet, apalagi tidak dikemas dengan menarik. Karakter inilah lantas dimanfaatkan sebagian pegiat medsos (yang sulit dideteksi latar belakang pendidikannya) sebagai target pasar mereka.

Media sosial memang terlalu sempit untuk menjelaskan maksud dari hadis (secara rinci). Namun tak bisa dinafikan, banyak juga manfaat yang lahir sebab hadirnya konten-konten seputar hadis di sana. Banyak kita jumpai orang-orang yang merasa ‘mendapat hidayah’ melalui konten-konten tersebut. Demikian pula, tidak semua orang dianugerahi kesempatan belajar ilmu hadis secara mendalam, mereka bisa berkenalan dengan beberapa wacana ilmu hadis. Maka sudah menjadi kewajiban para pakar hadis, untuk mengedukasi masyarakat secara luas dengan metode yang sebijak-bijaknya.

Hal menarik lainnya adalah bagaimana ke-ideal-an suatu hadis untuk hadir di media sosial? Bila ingin meneliti hadis secara serius, tentu serangkaian metodologi panjang dan diskursus pengetahuan perlu dikuasai dan diterapkan. Proses panjang itu tentu hanya dapat ditemukan di kalangan akademisi atau sarjana keislaman yang fokus pada bidang hadis. Rasanya tidak mungkin menjabarkan−secara rinci−setiap perbedaan pendapat ulama di media sosial. Namun bila suatu hadis terus disajikan ala kadarnya, tentu akan berpotensi memicu debat kusir yang tidak akan berakhir.

Jangan lupa baca tulisan menarik lainnya di Rubrik Mimbar dan Selasar!

Penulis: Al-Fayyadh Maulana

Editor: Syafil Umam

 

 

 

Al Fayyadh Maulana

Al Fayyadh Maulana

Seorang pengagum jalan dan kisah imajinernya

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA