Ansormesir.org–Beberapa waktu yang lalu, saya pergi memancing untuk sekadar menuruti hobi yang sudah lama tidak saya tunaikan. Dalam waktu empat jam, dua kali saya menarik pancing dan dua kali pula saya dibuat nelangsa. Saya hanya mendapatkan ikan berukuran 5 dan 7 cm. Namun sepertinya tidak hanya saya yang nelangsa, nasib buruk juga dialami oleh ikan kedua. Mulut dan siripnya robek oleh kail yang berukuran lebih besar daripada kepalanya.
Memang demikianlah adanya ketika kita memancing. Kita menangkap ikan dengan alat yang terbuat dari sekerat kawat dengan ujung yang melengkung, berkait dan tajam, diikatkan pada tali yang dihubungkan pada gagang dari kayu, bambu atau sebagainya. Kail yang mempunyai ujung lancip berfungsi untuk menusuk mulut ikan, tenggorokan, mata, sirip, atau perut ikan. Setelah kail logam mengenai ikan, kemudian kita akan tarik-ulur dengan ikan yang berusaha memberi perlawanan. Biasanya, hal ini justru dianggap bagian yang mengasyikkan oleh para pemancing.
Setelah berhasil diangkat ke daratan, ikan disimpan di tempat yang ada airnya, namun terkadang ikan disimpan begitu saja tanpa air. Ketika diletakkan begitu saja, ikan hasil pancingan akan mati secara perlahan-lahan. Terlihat begitu nahas bukan? Dimana ikan tidak lagi dapat bernapas sebab insangnya tidak berfungsi di daratan.
Sekarang bayangkan jika apa yang dialami oleh ikan tersebut terjadi pada hewan darat, katakanlah sapi. Seekor sapi ditusuk mulutnya menggunakan kail besar dari besi yang terhubung pada tampar. Kemudian kail yang telah menusuk mulut sapi ditarik dengan tampar. Sapi akan melakukan perlawanan, meronta-ronta, mengakibatkan mulut robek, dan darah keluar ke mana-mana. Kadang ditarik, kadang diulur, persis seperti memancing ikan. Setelah sapi lemas dan perlawanan mereda, sapi kemudian ditarik dan dimasukkan ke dalam air, ditenggelamkan. Paru-paru sapi tidak berfungsi di dalam air, sehingga perlahan sapi akan mati. Paru-parunya terisi air dan kekurangan oksigen.
Mungkin banyak orang akan merasa ngeri ketika menyaksikan proses matinya sapi dengan cara tersebut. Bahkan banyak orang akan protes dengan dalih penyiksaan terhadap hewan. Namun, tidak terjadi hal serupa ketika nasib buruk itu dialami oleh ikan. Orang-orang tidak merasa risau dengan proses matinya ikan-ikan hasil pancingan yang disebabkan tidak adanya air untuk bernapas, malahan menganggapnya lumrah.
Padahal terdapat ajaran moral, termasuk dari agama, yang memerintahkan agar tidak menyakiti hewan. Hewan yang dimatikan untuk tujuan konsumsi maupun ritual keagamaan pun dianjurkan untuk dimatikan dengan cara yang dianggap kurang menyakitkan. Misal, leher hewan disembelih menggunakan benda tajam dengan cepat dan mematikan, sebagaimana prosedur shechita dalam tradisi Yahudi, dan penyembelihan hewan dalam Islam. Sedangkan tradisi Buddha, mungkin juga Hindu, sebagian sudah lama menghilangkan ritual pengorbanan hewan. Dalam agama, pandangan tentang perlakuan terhadap hewan ini lebih bersifat spiritual-supranatural.
Namun, ada kalangan yang berpikiran lebih jauh lagi. Mereka mengusung ide tentang hak hewan/binatang (animal rights). Di dalam diskursus filsafat, hak hewan ini masuk dalam pembahasan filsafat moral. Semisal dalam kajian etika hewan, dan para pemikir yang terlibat di dalam pembahasan ini adalah Tom Regan dan Martha Nussbaum.
Salah satu wacana yang diperjuangkan dalam diskursus hak hewan adalah soal perlakuan manusia terhadap hewan. Termasuk dalam persoalan hewan-hewan yang digunakan sebagai percobaan di laboratorium dalam rangka riset saintifik. Para pendukung hak hewan menganggap bahwa hewan juga memiliki hak yang harus dihormati. Layaknya manusia, hewan juga memiliki kemampuan untuk merasa sakit, senang, takut, dan frustrasi. Sebab manusia, entah secara sadar atau tidak, sering melakukan sesuatu yang mengganggu kebutuhan hewan. Untuk itulah secara moral manusia perlu memahami makna hak hewan untuk menjamin hak hidup dan kesejahteraan hewan.
Sementara itu, para pengkritik diskursus hak hewan mengatakan bahwa wacana tentang hak hewan adalah pandangan antropomorfisme. Hewan tidak memiliki hak. Istilah “hak” yang digunakan untuk hewan adalah dalam pengertian kiasan saja. Beberapa dari mereka menawarkan jalan “kewajiban moral” dan “tanggung jawab moral” bagi manusia terhadap hewan, dibanding menyematkan properti “hak” pada hewan.
Meskipun masih terdapat perdebatan mengenai diskursus ini, sebagian dari kita sudah mencoba untuk memperhatikan hak hewan yang patut dihormati. Misal di negara-negara Eropa, terutama anggota Uni Eropa, mereka telah memberlakukan aturan untuk memingsankan terlebih dahulu hewan-hewan yang hendak disembelih di rumah penyembelihan hewan. Tujuannya untuk meminimalkan rasa sakit dan penderitaan pada hewan yang disembelih. Hal itu dikarenakan pembunuhan hewan dengan cara disembelih, dianggap masih menyakitkan bagi hewan. Tetapi beberapa kalangan Yahudi dan Islam sempat memprotes aturan tersebut, mereka beranggapan bahwa daging hewan yang dimatikan dengan cara demikian tidak kosher atau tidak halal.
Meski begitu, saya merasa hak hewan patut untuk dijaga dan dihormati. Kita bisa menanamkan kesadaran akan hal tersebut dari hal kecil. Misal ketika kita sedang memakan ikan hasil pancingan, mungkin sebagian dari kita teringat bahwa kematian ikan tersebut melalui proses derita yang menyakitkan. Atau mungkin Anda adalah orang tersebut.
Namun, ada kalangan yang berpikiran lebih jauh lagi. Mereka mengusung ide tentang hak hewan/binatang (animal rights). Di dalam diskursus filsafat, hak hewan ini dibicarakan di bidang filsafat moral, semisal dalam kajian “etika hewan”, dengan para pemikir yang terlibat di antaranya adalah Tom Regan, juga Martha Nussbaum.
Penulis: Radhina Rahman (Mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar)
Editor: Nasrul Haq
Baca juga Esai tentang Ansor Mesir yang lain.
Tidak ada komentar