Menelusuri Imam Thabari dalam Menggunakan Diksi Takwil

waktu baca 6 menit
Senin, 24 Okt 2022 09:30 0 14 Ansor Mesir

ansormesir.org-Minggu kemarin, saya sempat menghadiri satu majelis ilmu dengan salah satu syekh yang termasuk Maturidian. Mengkaji salah satu kitab yang dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah, berjudul Risalah al-‘Âlim wa alMutaallim. Di tengah-tengah kajian, kami mendapati lafaz al-‘adl dan al-jaur. Beliau menjelaskan bahwa di kitab ini, banyak lafaz-lafaz yang belum mengalami perkembangan. Dengan kata lain, jika lafaz tersebut dimaknai dengan makna yang sekarang, maka susunan kalimat tersebut akan rusak. Contohnya lafaz ‘adl masih memakai makna alaqâid assahîhah dan al- jaur bermakna al-bid’ah.

Perkembangan bahasa memang berjalan seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Manusia sendiri berkembang karena beberapa faktor, di antaranya lingkungan hidup. Bisa jadi, makna itu berubah karena sebuah desakan, yang jika tidak diubah akan berakibat fatal. Untuk itu, kita tidak bisa mengelak dari perubahan makna pada suatu bahasa.

Namun, fakta di atas tidak dapat saya amini, juga tidak saya tolak sepenuhnya. Karena dalam beberapa kasus yang saya temukan, ternyata bahasa bisa dikompromikan sebagaimana konsep al-jam’u dalam ushul fikih.

Besoknya lagi, ketika membaca Ulum Qur’an karya Syekh Nurudin ‘Itr bersama teman sejawat, saya menemukan satu kejanggalan yang mirip dengan kasus di atas. Lebih tepatnya saat membahas bab tafsir dan takwil serta pembagiannya.

Yang membuat janggal pada waktu itu adalah fakta bahwa Imam Thabari memakai kata ‘takwil’ sebagai tafsir, dengan bukti bahwa dalam memulai kitabnya, biasanya beliau akan memulai dengan kata wa ta’wîlu ayatin kadza… Bukti ini sebenarnya masih belum kuat, karena kita tidak pernah tahu apakah yang dimaksud dengan diksi takwil tersebut. Tetapi yang jelas, kitab itu masyhur dengan nama Tafsir ath-Thabari.

Imam Thabari hidup sekitar tahun 224-310 H. Di era itu juga, gejolak politik dan ideologi sudah mulai memanas. Banyak dari mereka yang saling mengklaim kebenaran. Namun sayangnya kebenaran yang dihasilkan tidaklah murni untuk sebuah misi di jalan Allah SWT. Alih-alih benar, banyak “kebenaran” yang pada ujungnya diselimuti oleh kebatilan.

Melihat gerakan politik dalam ranah tafsir, banyak dari mereka yang serampangan dalam menafsiri ayat Al-Qur’an, terlepas dari niat baik mereka. Dari situlah muncul beberapa term-term seperti ta’thîl, tajsîm, tasybîh, ta`wîl dan tafwîdh. Sehingga, sudah seharusnya Imam Thabari yang lahir di era itu berhati-hati dalam memakai diksi yang sinonimi (muradif) sebagaimana kata takwil dan tafsir. Karena dikhawatirkan akan salah paham bagi orang (ed, pembaca) yang belum mencermatinya.

Tetapi fakta tidak bisa berbohong. Imam Thabari justru tetap menggunakan diksi takwil dalam tafsirnya itu. Dengan fakta ini, kemungkinan beliau sedang menunjukkan bahwa gejolak perdebatan yang sengit antar mazhab belum krusial seperti pada kurun setelahnya. Pada akhirnya, beliau tetap memilih menggunakan diksi takwil, tanpa peduli kata takwil di situ dipahami sebagai antitesis dari tafwîdh.

Ketika fakta sejarah sudah membantu menjawab pertanyaan; Kenapa Imam Thabari menggunakan diksi takwil, yakni gejolak politik pada era itu masih stabil. Kemudian, kenapa saya tetap mempermasalahkan diksi yang dipakai Imam Thabari itu?. Jawabannya singkat, saya tidak bisa menerima bahwa takwil dipakai, karena tidak bermasalah dengan sosio-politik pada waktu itu. Karena sudah barang tentu, sosio-politik dan perdebatan sengit mencapai puncaknya di era itu. Dan dengan atmosfer seperti, seharusnya diksi takwil dipahami sebagai konsep klarifikasi, di mana ia dibutuhkan saat ada orang-orang yang salah kaprah dalam memahami suatu ayat dalam Al-Qur’an.

Namun di sisi lain, justru saya berpikir bahwa Imam Thabari ketika memilih diksi itu, sebab kesadarannya akan klasifikasi tafsir Ibn Abbas yang dibagi menjadi empat macam.

Pertama, tafsir yang hanya dapat dipahami dalam bahasa Arab. Model tafsir ini mengarah pada fakta bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Oleh karenanya, ada beberapa ayat yang hanya bisa dipahami dalam bahasa Arab saja.

Kedua, tafsir yang dapat dipahami secara dharurî, artinya tanpa bantuan apapun, sebagai muslim kita pasti memahami maksud ayat tersebut.

Ketiga, tafsir yang hanya bisa diperuntukkan bagi ulama yang sudah berada di level khas, artinya makna tafsir ini tidak dihasilkan dari ulama yang abal-abal, tetapi harus mempunyai otoritas keilmuan tafsir yang tinggi. Mereka mengambil inti sari hukum fikih, melihat sisi balagah berikut i’jaznya, serta menjelaskannya sesuai bidang yang digeluti. Biasanya model tafsir ini dikategorikan sebagai takwil. Sebagaimana Nasr Hamid Abu Zaid menulis dalam bukunya Mafhum an-Nash.

Keempat, tafsir yang berhubungan dengan ghaibiyyât, tafsir ini dikembalikan kepada Allah SWT semata.

Dari keempat model tafsir di atas, yang menjadi fokus kita adalah model tafsir yang ketiga. Dari situ terlihat bahwa takwil dalam ranah tafsir itu ada. Inilah yang menjadi titik tolak dalam menemukan rahasia kenapa Imam Thabari menggunakan diksi takwil dalam tafsirnya. Sekalipun sama dalam hal menafsiri, namun berbeda dalam prosesnya.

Lebih jauh, Nasr Hamid menulis bahwa perbedaan dasar antara takwil dan tafsir adalah al-wasîth. Term ini menjadikan takwil berbeda dengan tafsir. Kalau tafsir ada wasîth (perantara) di antara subjek (dzat) dan objeknya (maudhû’), sedangkan takwil sebaliknya. Artinya, menafsiri punya patokan tanda atau semacamnya, bisa berupa nash atau dâl, sedangkan menakwil hubungannya langsung dengan kerja akal manusia (علاقة مباشرة).

Setelah kita tahu bahwa takwil dalam ranah tafsir itu ada, sekarang waktunya kita menjumpai takwil dalam ranah tauhid, tentunya yang lebih spesifik maknanya serta lebih familier di telinga kita.

Dr. Rabi’ Jauhary salah satu mantan Dekan Ushuluddin menyebutkan dalam bukunya Mabahits fi al-‘Aqidah, bahwa takwil ialah memalingkan makna hakiki dari satu lafaz ke makna majas karena ada qorinah yang mencegah dalam memaknai sisi hakikinya. Takwil dalam ranah ini memang lebih spesifik, tepatnya hanya menyangkut lafaz-lafaz dalam Al-Qur’an yang sukar dipahami, bahkan fatal secara zahir ayatnya. Sedangkan makna takwil dalam ranah tafsir cukup umum, karena dia tidak hanya menangani atau menafsiri ayat yang sukar dipahami secara zahirnya, namun takwil dengan makna tafsir seperti di atas, memang berobjek pada semua ayat Al-Qur’an.

Kesimpulannya adalah, bahwa Imam Thabari menggunakan diksi takwil semata-mata karena menginginkan makna takwil yang berada di ranah tafsir.  Sehingga tidak lagi bermasalah, apakah ini yang dimaksud takwil yang di tauhid, atau takwil lain. Karena jika diasumsikan bahwa takwil di situ adalah takwil dalam ranah tauhid, maka akan timbul pertanyaan baru; “Bagaimana mungkin seluruh ayat membutuhkan takwil?”  Dan di sinilah letak konsep aljam’u, yakni mempertemukan maksud Imam Thabari dalam menuliskan diksi takwil sebagai takwil yang ada di ranah tafsir.

Penulis Reza Akademi Literasi

Editor Yusrun Wafi

Baca juga artikel lainnya di rubrik Mimbar dan selasar. Jangan sampai ketinggalan Kabar lainnya!

Ansor Mesir

Admin Website Ansor Mesir

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA