Benarkah Amalan Nisfu Syakban Bidah?

waktu baca 5 menit
Jumat, 18 Mar 2022 19:06 0 11 Ansor Mesir

AnsorMesir.org–Hal-hal yang berbau religius belakangan ini ramai dibahas oleh masyarakat Indonesia. Seiring berkembangnya IPTEK dan IMTEK, sangat mudah bagi seseorang jika ingin mencari sebuah hukum agama tentang peristiwa yang sedang viral. Hanya dengan menggunakan gadget, maka seseorang dapat mengakses berbagai macam media sosial seperti YouTube, Instagram, Twitter dan berbagai platform yang beragam. Apapun hukum agama yang diinginkan, akan disajikan oleh media sosial dengan cepat. Apapun sumber referensinya dan siapapun yang berargumentasi, beberapa orang tidak memperhatikan hal tersebut. Itulah plus minus dari kecanggihan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam memenuhi hal yang menjadi problematikanya.

Tidak jarang, beberapa orang yang mencari hukum dari internet cenderung mengambil mentah-mentah hasil akhir atau hukum dari suatu persoalan, tanpa mendasari dengan alasan, latar belakang dan pertimbangan-pertimbangan yang jelas. Barangkali, suatu kejadian di satu tempat dan tempat lain, akan berbeda hukumnya jika berbeda latar belakang dan kulturnya. Melihat masyarakat yang heterogen pada zaman ini, sudah barang tentu media sosial dengan berbagai macam hiburan lebih banyak menguras waktu. Walaupun juga mempunyai banyak manfaat dan lebih praktis. Misalkan, seseorang ingin mencari hukum amalan dan keutamaan malam Nisfu Syakban, maka tidak perlu semenit ia akan dapat menemukan referensinya di internet menggunakan gadgetnya.

Sayangnya, referensi dan pendapat yang mereka temukan justru kebanyakan merujuk pada pendapat yang subjektif, fanatik mazhab dan tidak moderat. Banyak dari apa yang ditemukan orang-orang dalam internet menyebutkan, bahwa amalan Nisfu Syakban yang diriwayatkan merupakan amalan yang disarikan dari hadis dha’îf. Sehingga, sebagian kelompok Islam menyatakan, bahwa amalan-amalan yang dilakukan dan menjadi tradisi setiap tahunnya, dianggap sebagai bidah. Ujung-ujungnya, mereka mengambil konklusi dan mengafirkan, karena tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi SAW. Lantas, benarkah apa yang mereka katakan?

Sebelum membahas secara mendalam problematika tersebut, maka ada hal menarik yang dituturkan oleh kiai karismatik KH. Maimoen Zubair. Beliau menuturkan latar belakang keutamaan bulan Syakban berlandaskan hadis yang diriwayatkan oleh Anas:

قال النبي: رجب شهر الله وشعبان شهري ورمضان شهر أمتى (حديث أنس)

Artinya: Nabi Muhammad bersabda: “Rajab adalah bulan Allah, Syakban adalah bulanku (Rasulullah SAW) dan Ramadhan adalah bulan umatku”. (HR. Anas).

Secara jelas, makna dari hadis ini menunjukkan keutamaan ketiga bulan Hijriah dengan adanya penyandaran pada Allah SWT dan Nabi-Nya. Karena hal apapun yang awalnya secara materi biasa saja, namun jika dinisbahkan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akan menjadi mulia. Keutamaan selanjutnya ditilik dari segi eksplisit, bahwa jika bulan Syakban adalah bulan Nabi Muhammad SAW, maka sebagai umatnya, bagaimanapun caranya dengan sekuat tenaga kita berupaya memperindah amal pada bulan ini. Hal ini dapat dianalogikan dengan, seorang kekasih yang menyindir kekasihnya bahwa bulan ini adalah bulan yang ia maksudkan dan ia inginkan, maka selayaknya sang kekasih akan membuat kekasihnya bahagia dan rela melakukan hal-hal yang disukai kekasihnya. Lantas, langkah selanjutnya adalah bagaimana cara membuat bulan Syakban menjadi bulan yang penuh dengan amal kebaikan. Terlebih lagi, bulan Syakban adalah bulan yang menyongsong menuju bulan suci Ramadhan.

Sebenarnya, jika kita menilik pendapat sebagian kelompok yang kontra dengan beberapa amalan pada malam Nisfu Syakban, maka sebenarnya harus lebih diperdalam lagi pembahasannya. Dalam artian, apa yang menjadi perdebatan hingga akhirnya memicu bingung dan tersesatnya masyarakat awam. Jika problematikanya adalah tentang beberapa amalan yang sanadnya adalah hadis dha’îf, maka jawabannya adalah, kita bisa mengambil pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa amalan atau ibadah yang hukumnya sunah tidak menjadi masalah jika menggunakan dalil dari hadis dha’îf. Namun jika yang dipermasalahkan mengenai bidahnya amalan tersebut, maka harus kita tilik terlebih dalam makna dasar dari bidah. Terlepas dari perdebatan panjang para ulama mengenai bidah dan klasifikasinya, mari kita beralih pada pembahasan tentang analogi serta pemikiran tentang bidah secara lebih singkat.

Problematika panjang yang terjadi dalam pengejawantahan makna bidah inilah yang menjadi benang merahnya. Kubu kontra tetap kekeh dengan pendiriannya, mereka menyatakan bahwa segala macam hal yang tidak ada pada zaman Nabi SAW, dilarang pelaksanaannya dan dianggap sesat jika dilaksanakan. Kalau memang demikian, maka hal-hal yang yang berbau modern seperti HP, komputer dan alat elektronik lainnya yang eksistensinya belum ada dan belum ditemukan pada zaman Nabi SAW akan menjadi bidah hukumnya. Begitu juga universitas dan lembaga pendidikan yang−jelas sekali−belum ada pada zaman dahulu akan dihukumi demikian. Tidak perlu terlalu jauh melompat pada zaman sekarang, contoh saja pada zaman Shahabat, yang masanya relatif dekat dengan masa kenabian pun sudah ada hal baru. Seperti halnya azan kedua dalam salat Jumat, baitul mal dan lain sebagainya. Kemudian di era Imam Haramain ada pendirian madrasah seperti madrasah Nidlamiyyah. Sedangkan semua ulama sepakat menyatakan tren positif atas pembaharuan ini.

Lebih lanjut lagi, seperti contoh perang yang harus menggunakan pedang dan panah, belajar yang hanya menggunakan kertas dan tinta. Ada juga beberapa hal yang berbau islami dan ramai pada zaman sekarang, seperti istigasah kubra, yang di zaman Nabi SAW tidak ada riwayat tentang segerombolan orang dalam satu tempat dan waktu, untuk zikir bersama-sama. Padahal yang mereka baca dan lantunkan, esensinya adalah mengesakan Allah SWT. Dalam satu hadis, Nabi SAW bersabda bahwa orang yang mengucapkan kalimat tahlil adalah orang yang masuk surga. Di sisi lain, terdapat kelompok yang menganggap sesat dan kafir kelompok lain ketika mengucapkan kalimat suci tersebut secara bersama-sama dalam waktu tertentu. Maka sangat tidak logis apabila menganggap istigasah kubra sebagai tindakan yang sesat dan menganggap kafir orang-orang yang melakukannya.

Sehingga, idealnya memaknai bidah menurut klasifikasi ulama menjadi bid’ah hasanah adalah hal yang lazim pada zaman sekarang. Lantas, segala macam amalan seperti Nisfu Syakban, munggahan dalam tradisi orang sunda dan berbagai bentuk amalan lainnya, harus kita hukumi berdasarkan esensinya. Demikianlah beberapa poin yang sedikit banyak mempengaruhi berbagai macam amalan-amalan dalam kelompok masyarakat Nahdlatul Ulama secara umum, terkhusus perihal amalan di malam Nisfu Syakban. Semoga berbagai macam ibadah dan zikir yang kita lakukan dapat mengantarkan kita menuju ridha Allah SWT dan menjadi batu loncatan menuju bulan suci Ramadhan. Karena umumnya, baik tidaknya seseorang di bulan Ramadhan merupakan pengaruh dari bulan Rajab dan Syakban.

Penulis: Muhammad Syihabudin Alawy

(Pimpinan Redaksi Website Ansor Mesir, Ketua Forum Alumni Sarang FAS Mesir)

Editor: M. Yusron Wafi

Ansor Mesir

Admin Website Ansor Mesir

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA