Seorang hamba identik dengan suatu ketundukan dengan Tuhannya, sedangkan sujud adalah wujud simbolisnya. Tabiat seorang hamba ketika sujud adalah merasa hina dan membutuhkan pertolongan dari-Nya. Akan tetapi, ketika seorang hamba bersujud tidak dibarengi dengan perasaan-perasaan di atas, maka sejatinya tidak ada hakikat sujud di dalamnya.
Seringkali seorang hamba hanya terpaku kepada sujud dalam garis ritualnya saja, dalam artian sujud dengan tujuh anggota tubuh seperti dalam literatur fikih; walaupun memang hal itu sudah mendingan daripada tidak sujud sama sekali. Sujud yang berbentuk ritual itu bersifat dogmatis, sehingga ketika seorang hamba hanya terpaku di dalamnya, hampir bisa dipastikan ia tidak akan bisa merasakan apa itu hakikat sujud.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِيْ عَلَى أَدْنَى رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِيْ (أخرجه الترمذي)
“Keutamaan orang alim atas orang ahli ibadah seperti keutamaanku diatas shahabatku yang paling rendah (derajatnya)” (HR.Tirmidzi).
Pada hadis di atas, Rasulullah SAW menyandingkan bahwa ilmu berada di atas ibadah. Hal tersebut sama halnya dengan derajat kenabian diatas sahabat yang paling rendah derajatnya. Lantas, apa kaitan hadis tersebut dengan pembahasan tentang sujud ini? Seorang ahli ibadah yang hanya tahu tata caranya, ketika ia melakukan sujud ia hampir bisa dipastikan hanya berhenti pada ritual saja, sedangkan orang alim walaupun ia ingin tidur, sangat banyak bentuk ketundukan di dalamnya. Misalnya ia tidur sebagai bentuk persiapan untuk ritual ibadah salat ataupun mengajar atau karena ia tahu bahwa Allah SWT menciptakan tubuhnya yang lemah itu di-setting bisa lelah dan perlu untuk istirahat. Nah, bentuk ketundukan orang alim di atas rasanya merupakan sujud yang ideal dibandingkan sujud yang berbentuk ritual.
Orang yang sujud sebatas ritual saja itu rawan mengalami kecewa. Kenapa? Karena ketika ia memiliki sesuatu, ia tidak pernah berpikir mengapa ia memiliki sesuatu tersebut, namun ketika ia kehilangan akan merasa bingung mengapa hal itu bisa terjadi pada dirinya. Hal yang paling sering dilupakan adalah nikmat kesehatan. Ketika seseorang sehat ia sering kali lupa; Mengapa ia sehat? Siapa yang memberinya kesehatan? Apakah ia pernah punya transaksi atau prestasi tertentu sehingga ia berhak sehat? Namun ketika ia sakit seolah menjadi sosok yang paling terbebani.
Berbeda halnya dengan orang yang memang benar-benar sujud—secara lahir maupun batin—, ketika ia mendapatkan kesehatan, ia tahu siapa yang memberinya kesehatan dan tahu apa saja yang harus ia lakukan ketika ia mendapat nikmat kesehatan tersebut. Begitu juga ketika ia sakit, ia tidak merasa paling terbebani karena memliki pola pikir bahwa yang menciptakan kesehatan adalah Allah SWT dan sewaktu-waktu jika ditarik, ia tidak akan merasa kecewa.
Rasulullah SAW dalam hal ini mencontohkan sujud yang ideal, beliau bersabda:
سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ (رواه الترمذي)
“Aku bersujud dengan wajahku kepada Dzat yang menciptakannya, membuka pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan upaya-Nya, sungguh Maha Suci Allah pencipta yang terbaik” (HR.Tirmidzi).
Beliau Rasulullah SAW sujud secara lahir dan batin, sehingga esensi ketundukan kepada Allah SWT sangat nyata. Beliau mencontohkan bagaimana caranya seorang hamba bersujud kepada Tuhannya. Dengan sujud yang demikian, seorang hamba akan bisa menempatkan dirinya sebagai penyembah Allah SWT Yang Maha Mampu dan memiliki segalanya.
Wallahu A’lam
Oleh: M. ‘Abda Rifqi Syukron Atqiya’
Editor: M. Syihabudin Alawy
Tidak ada komentar