Ansormesir.org–-Kamis (21/7), PC GP Ansor Mesir bersama PCI Fatayat NU Mesir menyelenggarakan acara Bincang Santai dan Peluncuran Buku; Muslimah yang Kami Ketahui. Acara ini diselenggarakan di aula KAHHA PCINU Mesir, berlangsung selama empat jam (termasuk waktu istirahat salat magrib), mulai dari pukul 17.00 WLK sampai dengan pukul 21.00 WLK. Peserta yang mendaftar dan hadir dalam acara tersebut berjumlah 38 orang, sedangkan tamu undangan yang hadir berjumlah 8 orang.
Bincang santai ini diadakan bersamaan dengan peluncuran buku yang berjudul “Muslimah yang Kami Ketahui”. Buku tersebut merupakan karya yang ditulis oleh beberapa kader PC GP Ansor Mesir dan PCI Fatayat NU Mesir periode terdahulu. “Ini adalah proyek lama, yaitu proyek di masa periode awal Ansor Mesir, yang saat itu masih dinahkodai oleh Ali Ghifari dan periode Fatayat yang diketuai Habibah Masruroh, tahun 2018/2019”. Tutur Dzurriyah Ahsantiyah (ketua PCI Fatayat NU Mesir) dalam sambutannya. Dzurriyah menambahkan, bahwa acara tersebut dilaksanakan sebulan setelah buku terbit.
Sambutan Ketua PCI Fatayat NU Mesir merupakan agenda acara kedua, tentu setelah agenda pembukaan oleh Zahra Safira selaku pembawa acara. Dalam sambutannya, Dzurriyah Ahsantiyah memberikan apresiasi kepada penulis dan tim penyusun yang telah mengerahkan segala upaya demi menghadirkan buku tersebut. Beliau mengatakan bahwa inisiatif kepenulisan buku tersebut didasari oleh jamaknya perbincangan terkait gender yang dihubung-hubungkan dengan teks keagamaan, dan adanya stigma masyarakat umum dalam menilai perempuan sebagai subordinasi pada lingkup-lingkup tertentu. Maka dari itu, muncul semangat dan tekad dari para penulis untuk mengkaji dan menuliskannya dalam sebuah buku.
Dzurriyah juga memberikan sedikit bocoran tentang substansi dalam buku tersebut. “Di buku ini penulis mencoba menguak hal-hal substansial, ada tokoh-tokoh perempuan yang namanya belum familier di telinga kita, ada beberapa opini untuk mengonter apa yang tidak seharusnya menjadi pemahaman masyarakat”. Selain itu, Dzurriyah mengharap supaya PC GP Ansor Mesir dan PCI Fatayat NU Mesir tidak berhenti dalam menghasilkan karya dan mengetengahkan pentingnya literasi.
Rais Syuriyah, Kiai Mukhlason Jalaluddin Lc., turut menghadiri acara tersebut. Pada acara tersebut Kiai Mukhlason memberikan sambutan. Dalam Sambutannya, beliau menuturkan beberapa hal. Di antaranya, banyak kajian yang dilakukan di PCINU Mesir secara tertutup, akan tetapi hasil kajiannya dibuka untuk umum, seperti halnya hasil kajian yang tertuang dalam buku Muslimah yang Kami Ketahui. Beliau mengapresiasi terbitnya buku tersebut, dan mengamini acara yang bernuansa santai, seperti halnya Bincang Santai kali ini. “Pembahasan yang serius memang seharusnya dibahas seperti ini, ya Bincang Santai ini salah satunya, supaya gak ngantuk”. Sambut beliau.
Kiai Mukhlason Jalaludin menyampaikan sambutan dan apresiasi terhadap buku “Muslimah yang Kami Ketahui”
Kiai Mukhason berpendapat, bahwa isu dan persoalan seperti ini harus selalu digali dan dikaji, demi menemukan paradigma yang benar dalam menghadapi stigma kelompok masyarakat yang menganggap bahwa perempuan adalah tiang wingking (orang yang berada di belakang), dan stigma kelompok masyarakat lain yang menganggap sebaliknya. Menurut beliau, tema ini relevan dengan program yang ditekankan oleh presiden Mesir, Abdul Fattah As-Sisi, yakni pemberdayaan perempuan. Kiai Mukhlason mengharap, acara-acara diskusi dapat sering diadakan, supaya wawasan yang didapat dari membaca dapat melekat kuat dengan cara dipertukarkan dan didiskusikan, karena diskusi akan memunculkan kesimpulan-kesimpulan dan pengetahuan baru.
Setelah agenda sambutan-sambutan, acara bermuara pada intinya, yakni perbincangan mengenai isi buku. Bincang santai pada kesempatan tersebut dimoderatori oleh Unzilatur Rohmah. Moderator memberikan waktu pertama untuk Sawdah A. Fauzi Lc., selaku panelis. Pada kesempatannya, Sawdah A. Fauzi−akrab disapa “Mbak Uut”−memulai pemaparan dengan mengutarakan latar belakang tercetusnya buku tersebut. “Kami melihat banyak orang yang tidak mengenal wanita muslimah, bagaimana seharusnya perempuan bersikap, apakah kemenyek atau keras seperti batu karang? Apakah harus selalu di rumah atau harus aktif berkegiatan di luar rumah?”. Beliau juga mengungkapkan perbandingan pendapat antara kubu yang koservatif, yakni yang berpendapat bahwa perempuan harus berdiam diri di rumah dan tidak seharusnya banyak tingkah, dan kubu progresif, yakni kubu yang menganjurkan serta mengajak perempuan untuk aktif keluar dan melakukan banyak hal, sama seperti laki-laki.
Mbak Uut mengatakan, bahwa sebelum membincang perempuan sebagai subjek, sudah tentu harus terlebih dahulu membincang peran perempuan di lingkup domestik. Pada pembahasan domestik, beliau juga membincang patriarki, menurutnya patriarki merupakan suatu sistem sosial yang korup dan negatif. Selanjutnya, beliau menuturkan latar belakang dan proses perkembangan patriarki; bagaimana patriarki dapat terjadi, dan upaya serta dukungan terhadapnya, sehingga patriarki dapat lestari. Beliau menyebutkan cara-cara menolak argumen-argumen yang mendukung patriarki, yaitu dengan cara menafsiri teks-teks keagamaan dengan tepat dan proporsional.
“Islam itu punya batasan, tapi tidak kaku, punya prinsip tapi tidak over welcome”. Berangkat dari pernyataan ini, Mbak Uut mengatakan bahwa kita perlu membahas peran perempuan di era awal dan watak shahabiyât untuk memahami karakter Islam yang berkaitan dengan perempuan. Selanjutnya, beliau membincang tentang akhlak-sosial Islami. Beliau juga mengutip pernyataan dari majalah Shaut Al-Azhar, bahwa ruang aman yang tercipta di lingkup masyarakat tertentu, merupakan potret akhlak-sosial Islami yang sempurna. Karena, Islam yang notabene membawa ajaran akhlak harus mampu mewujudkan ruang publik yang aman, khususnya bagi perempuan.
Setelah Mbak Uut selesai presentasi, tiba giliran panelis kedua, yakni Tanzila Feby Nur Aini. Pada kesempatannya, Tanzila membincang perempuan dalam lingkup privat, sebagai manusia dan sebagai istri. Sebelum masuk ke pembahasan tersebut, terlebih dahulu Tanzila menyinggung bagaimana perempuan diperlakukan di masa jahiliah. Di masa itu, perempuan tidak mendapat ruang sama sekali, alih-alih demikian, perempuan hanya sebagai objek, karena laki-laki mendominasi. Maka dari itu, Islam hadir untuk meluruskan penyimpangan tersebut, serta memberikan hak-hak perempuan sebagaimana mestinya. Menurut Tanzila, khalifah yang diturunkan ke bumi bukan hanya pria, tapi seluruh manusia. Allah juga tidak membeda-bedakan taklif secara gender, bahkan mengangkat derajat dan martabat perempuan melalui ajaran Islam.
Tanzila menyebutkan lima pilar dari Al-Qur’an yang mendukung konsep rumah tangga, sehingga tidak mencederai hak-hak perempuan. Pertama, Komitmen pernikahan yang mengikat. Kedua, Kesalingan atau hubungan timbal balik. Ketiga, mu’âsyarah bil ma’rûf. Keempat, musyawarah. Kelima, Kerelaan suami dan/atau istri. Selain hal di atas, beliau juga membincang sedikit persoalan poligami, bagaimana poligami selalu dikaitkan dengan nas Al-Qur’an, dan keterangan tentang pen-syariat-an poligami dalam Islam. Menurutnya, poligami bukan merupakan solusi bagi pernikahan.
Menginjak kesempatan selanjutnya, moderator memberikan waktu kepada Hilmi Sirojul Fuadi sebagai panelis ketiga. Kali ini, Hilmi membincang topik; perempuan dalam ruang lingkup publik. Beliau mengawali presentasinya dengan menilik sejarah. “Di masa Yunani, perempuan dikelompokkan sama halnya barang, anak-anak, budak, bahkan hewan ternak. Perempuan pada saat itu tidak punya hak bersuara dan hak berpolitik.”. Ungkap Hilmi. “Di masa Romawi, perempuan dianggap tidak memiliki jiwa, dan sering mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan, pelecehan misalnya”. Lanjut Hilmi. Di belahan dunia lain, orang-orang India dalam tradisi Manu menganggap kematian, neraka, ular racun dan api, tidaklah lebih buruk dari seorang perempuan.
Sementara itu, agamawan Eropa pada abad ke-6 M mengadakan suatu konferensi di Perancis untuk mendiskusikan perempuan. Konferensi tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa perempuan memiliki jiwa, ia adalah manusia, akan tetapi tugas dan fungsinya semata-mata untuk melayani laki-laki. Diskredit terhadap perempuan juga dialami di Cina di masa lampau dan di Arab pada masa jahiliah. Hilmi mengatakan bahwa masih banyak sejarah perempuan yang ingin beliau sampaikan, akan tetapi karena waktu yang singkat, beliau menganjurkan untuk membaca bukunya saja.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi gender, pada sejarahnya, telah membawa sederet perbedaan dan pembedaan. Perempuan mengalami pembedaan dari laki-laki dalam status sosialnya, peran dan fungsinya, hingga hak hidupnya serta status kemanusiaannya. Di masa pra-Islam, masyarakat Arab secara jelas memosisikan perempuan jauh di bawah laki-laki. Dari latar belakang yang semacam itulah Islam hadir sebagai solusi emansipatif.
Hilmi mengungkapkan, bahwa Islam menyetarakan perempuan dan laki-laki dalam status kemanusiaannya, aspek kehidupan personalnya, dan kesetaraan posisi di ruang publik. Pada akhirnya, perempuan juga dapat menempati posisi-posisi yang sering diisi oleh laki-laki−secara tradisi−di ruang publik. Selain memaparkan hal di atas, beliau juga mengatakan bahwa banyak referensi yang disadur dari beberapa sumber, termuat dalam daftar pustaka tulisan beliau yang ada di buku Muslimah yang Kami Ketahui.
Berlanjut ke pembicara terakhir, sekaligus narasumber utama, yakni Cak Alfan Khumaidi, Lc., Dipl. Cak Alfan menerangkan banyak hal, di antaranya; perempuan sebagai manusia. Manusia yang dimaksud adalah seluruh manusia (tidak hanya laki-laki), ia punya peradaban, sistem hidup, dan kearifan lokal, sama seperti apa yang ada dalam Al-Qur’an. Selain itu, beliau juga menerangkan konsep rumah tangga, mulai dari pernikahan, poligami, nusyûz, hingga talak, dan juga seluruh perincian dan penjelasannya
Berbeda pendapat dengan Tanzila, Cak Alfan justru menilai poligami sebagai solusi pernikahan yang tidak mewujudkan kemaslahatan. Menurut beliau, poligami bersifat opsional, sehingga benar-benar menjadi solusi bagi yang berhak, dan sebaliknya. Beliau sependapat dengan Muhammad Abduh, bahwa poligami tetap legal, akan tetapi harus dibatasi dan diatur undang-undang.
Usai pemaparan dari Cak Alfan, moderator menyimpulkan bahwa diskusi mengenai perempuan harus selalu teramplifikasikan dan diketengahkan. Setelah kesimpulan dari moderator, kelanjutan acara ditunda sejenak, guna melaksanakan salat magrib.
Para penulis buku “Muslimah yang Kami Ketahui”. Dari kanan: Hilmi, Tanzila, Sawdah (Uut) dan moderator.
Selesai salat magrib, acara dilanjutkan pada sesi pertanyaan dari peserta acara. Pada kesempatan kali ini, moderator memberikan waktu bertanya kepada satu peserta laki-laki, yakni Asy’ari, dan satu peserta perempuan, yakni Nadia. Kemudian dua pertanyaan tersebut dijawab oleh narasumber utama dan panelis.
Demikian liputan acara Bincang Santai dan Peluncuran Buku; Muslimah yang Kami Ketahui. Adapun pemesanan dan pembelian buku masih terbuka untuk umum. Buku Muslimah yang Kami Ketahui dibanderol dengan harga 65 EGP. Buku tersebut dapat didapatkan dengan cara menghubungi admin BnA Store, atau klik di sini, kapanpun dan di manapun, sesuai kesepakatan COD dengan admin. “Masih bisa dibeli kok, harganya 65 Pound, hubungi saja admin BnA Store, mereka pasti fast respons”. Terang Syafil Umam (Ketua Panitia).
Reporter: M. Yusron Wafi
Tidak ada komentar