Ubermensch Vs Insan Kamil

waktu baca 7 menit
Kamis, 7 Mar 2024 14:26 0 16 Veda Najech

ansormesir.org-Mendengar nama Nietzsche sudah tidak asing lagi di kalangan pegiat ilmu pengetahuan. Namanya cukup familiar di dunia kampus khususnya dalam forum filsafat baik formal maupun nonformal. Filsuf berkebangsaan Jerman ini lahir pada tahun 1844 dan wafat pada pertengahan 1900 di Jerman. Beberapa pihak ada yang terpengaruh dengan konsep-konsep kontroversinya seperti pandangan mengenai moral, etika hingga Tuhan telah mati. Adapula yang bisa mengolahnya dan mengklarifikasikan ide yang diutarakan oleh pria berjuluk pembunuh Tuhan ini.

Dari sekian banyak teori yang diteliti kemudian ia utarakan, saya tertarik membahas salah satunya, yaitu Ubermensch. konsep Ubermensch seringkali diartikan orang-orang sebagai superman atau overman, manusia yang melampaui. Nietzsche mengatakan bahwa posisi manusia berada pada jembatan di atas jurang yang amat dalam, di antara kebinatangan dan ubermensch. Manusia berada di posisi genting, dia bisa saja terjatuh dan bisa saja putus asa kemudian mundur dan memilih menjadi binatang. Figur ini seolah mengatakan bahwa manusia tidaklah sempurna apabila ia tidak melampaui sisi manusia yang berupa jembatan itu. Ia tidak takut menghadapi kekosongan. Konsep ini sejatinya bukanlah berangkat murni dari Nietzsche, tetapi ia terinspirasi Zarathustra seorang bijak yang terindikasi sebagai seorang nabi dari bangsa Persia. Inspirasi ini ia tuliskan dalam bukunya “Sabda Zarathustra”.

Konsep yang mungkin muncul dari pernyataan Nietzsche di atas adalah sosok superman yang amat kuat, tahan banting, dapat menghadapi segala macam permasalahan dengan kekuatannya. Anehnya, gambaran ubermensch ini justru ia contohkan sebagai seorang bayi. Dalam bukunya “Sabda Zarathustra” ia mengutarakan tiga metamorfosa ruh manusia yang kemudian menjadi figur unta, lalu berevolusi menjadi singa, dan pada akhirnya menjadi bayi. Seekor unta adalah gambaran makhluk yang menerima apapun beban yang dipasrahkan tuannya, ia cenderung pasif. Kemudian setelah sekian lama ia memberontak, membinasakan perintah “kau harus” menjadi “aku mau” sebagai penolakan untuk menjadi singa. Meskipun terkesan kuat dan tak terkalahkan, tapi singa tidak memiliki nilai kehidupan akan pemberontakannya terhadap realita. Hingga pada akhirnya ia berubah menjadi seorang bayi kecil yang baru lahir dengan segala kepolosannya dan sifat lupanya. Bayi adalah permulaan yang apa adanya, tidak ada reaksi kebencian atau pemberontakan terhadap realita yang ada. Sebuah figur bayi ini dipermisalkan sebagai sosok manusia yang tidak memiliki kebencian ataupun haus darah. Namun perlu kita ketahui bahwa Nietzsche bukanlah ubermensch itu sendiri, dan ia bukanlah Zarathustra, tapi seorang pemikir yang ingin merefleksikan konsepsi Zarathustra terhadap ubermensch.

Lantas apakah konsep yang ia utarakan ini bisa kita katakan sebagai kebenaran? Menariknya, Bertrand Russel mengomentarinya dalam buku Sejarah Filsafat Barat miliknya bahwa Nietszsche, sekalipun dia seorang profesor, lebih cocok menjadi sastrawan ketimbang filsuf akademik. Lalu dengan sindiran Russel, apakah kita sontak menolak konsep-konsep yang ia utarakan dalam tulisan-tulisannya?. Bagi saya, terlalu naif untuk mengiyakan pertanyaan itu. Karena bisa saja konsep yang ia utarakan itu adalah benar, namun yang perlu ditinjau adalah, apakah diksi yang Nietzsche utarakan merupakan gaya bahasa sastra atau ilmiah. Syekh Abdul Mutaali Ash-Shaidi mengatakan dalam bukunya Tajdid ilmi al-Mantiq “setiap bahasa memiliki dua gaya bahasa, gaya bahasa sastra yang ditujukan untuk syair dan sejenisnya dari sastra. Juga gaya bahasa ilmiah yang ditujukan untuk merealisasikan permasalahan ilmiah dan sejenisnya”. Jika menimbang konsep-konsep Nietzsche, nampaknya memang lebih condong ke arah sastra.

Terlepas dari konsep yang diutarakan Nietzsche, Islam lebih dahulu mengenal konsep manusia paripurna. Di antara lain adalah Ibn Arabi sebagai pencetus konsepsi al-Insân al-Kâmil dan figur yang beliau ambil sebagai manusia paripurna adalah Nabi Muhammad saw. dalam bukunya Fushûsh al-Hikam.

Insan kamil merupakan Bahasa Arab yang berarti manusia yang sempurna. Bukan yang melampaui atau manusia super dalam karakter fiksi. Ibn Arabi justru memberikan sosok figur Nabi Adam AS sebagai manusia sempurna pertama yang diciptakan oleh Allah SWT. Adam, merupakan manusia pertama yang ditunjuk Allah SWT untuk menjadi khalifah di bumi. Tersebab kekhalifahan itu, maka Tuhan memberinya sifat-sifat kesempurnaan untuk kelayakannya sebagai khalifah. Dari sini, konsep insan kamil adalah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya.

Di samping itu, ayat-ayat al-Qur’an telah banyak menyebutkan bahwa Allah SWT telah memberi kemuliaan terhadap manusia atas makhluk-makhluk lainnya. Di antara manusia-manusia tersebut mereka memiliki kemuliaan yang berbeda-beda antar satu dengan yang lain. Manusia yang terpilih itulah yang disebut sebagai al-Insân al-Kâmil. Seperti dalam Surat Al-Isra ayat 70, Allah SWT berfirman: “Dan sungguh, Kami telah muliakan anak cucu adam……. dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.

Sebagai bukti bahwa manusia memiliki keunggulan adalah pemberian akal terhadapnya. Dengan akal, manusia memiliki kesadaran atas perilakunya yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hari penghakiman. Dari akal, manusia dapat memilih dan membandingkan mana yang layak dibenarkan dan tidak. Lalu mengapa malaikat justru kalah sempurna dari manusia? Tentu sebab malaikat tidak dianugerahi akal dan nafsu, dan ia hanya memiliki sifat jibiliyyah (bekerja sesuai perintah Allah saja).

Ibn Arabi membeberkan komparasi antara al-Insân al-Kâmil dan al-Insân al-Hayawân. Manusia pada umumnya berada di antara insan kamil dan prinsip hewani. Seperti yang kita ketahui, bahwa hewan mengetahui objek yang ia lihat tanpa timbul pikiran akan sebabnya atau dampak dari objek tersebut. Ia pasif dan hanya melihat apa adanya. Sebagai contoh ketika hewan melihat kecelakaan di depannya, ia tidak melihatnya sebagai bencana yang menewaskan manusia dan berdampak kerugian. Tersebab kepasifannya, ia hanya mendapati pengalaman visual saja. Dalam hal ini, kondisi tersebut memiliki kesamaan dengan manusia pengguna prinsip hewani yang pasif dan apatis akan kejadian yang ia lihat. Dia tidak peduli untuk apa ia dilahirkan. Itulah yang disebut sebagai Manusia Hewani. Manusia biasa, sedikit berbeda dengan manusia hewani. Dia menganggap takdir yang tidak sesuai dengan keinginannya adalah ancaman. Ancaman itu menjadikannya benci akan kehidupan, seringkali baginya keadilan di dunia ini sudah musnah. Dalam keadaan ini, manusia biasa sulit menerima ketetapan yang telah Tuhan berikan padanya. Ia aktif memberontak dan berujung ketiadaan karena manusia tidak memiliki kekuasaan akan takdir. Di tingkat terakhir, insan kamil ditemukan sebagai sosok yang apa adanya. Ia tahu untuk apa dia dilahirkan dan dari mana dia berasal. Musibah yang mendatanginya dianggap sebagai ujian untuk naik derajat ke kedudukan yang lebih dicintai Tuhan. Takdir adalah anugerah terindah dari Tuhan, maka harus diterima dengan segala keikhlasan. Ia tahan banting akan segala masalah yang ada di hidupnya. Meskipun ia pasif, ia tahu apa yang ada di ujung dunia ini dan mengamini sifat transendenan Tuhan. Orang lain pun ketika melihatnya akan melihat kekuasaan Tuhan yang ada pada diri insan kamil tersebut.

Lebih dalam dari pada itu, Ibn Arabi menggambarkannya sebagai sosok para Rasul dan wali Allah SWT. Dimana ia menghabiskan waktunya untuk mengabdikan diri kepada Allah, hatinya hidup untuk berzikir dan merenungi ciptaan-ciptaannya, dari akalnya muncul sinar-sinar keilmuan dan ilham. Memiliki kecerdasan, kesabaran dan ketangguhan yang tiada tanding. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an dalam surah Yunus ayat 62: “Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidaklah memiliki rasa takut pada mereka (keadaan hari akhir) dan tidaklah mereka bersedih hati”. Dalam Tafsir Ibn Katsir diriwayatkan dari hadis Nabi SAW bahwa Wali Allah adalah mereka yang apabila terlihat, maka tampak bahwa Allah membersamainya.

Maka sungguh luar biasa keagungan Allah untuk memberikan manusia figur manusia sempurna untuk dijadikan role model oleh seluruh umat. Dan Allah SWT telah merahmati Ibn Arabi untuk merefleksikannya kepada para manusia dengan penyampaian beliau sebagai sesama manusia. Berbeda dengan Nietszche yang mengutip konsepsi Zarathustra dan profilnya yang bukan sosok ubermensch, ia cenderung mengkritik kondisi sosial pada saat itu yang berujung pada kekesalan yang dilebih-lebihkan hingga menemui kebuntuan (nihilisme). Walakhir, konsep ubermensch dan insan kamil tidaklah sepadan untuk dibandingkan, cukuplah nalar kritis Nietsczhe kita teladani dalam mendayagunakan akal kita sebagai manusia agar sebisa mungkin meneladani hakikat sang manusia sempurna Nabi Muhammad saw. Sebagaimana Ibnu Arabi berkata ‘jalan menuju hakikat itu banyak, sebanyak jumlah  para saliknya’.

Penulis: Veda Dhiya’ulhaqqi Najech

Editor: Al Fayyadh Maulana

Jangan lupa baca tulisan menarik lainnya di Rubrik Mimbar dan Selasar, ya!

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA